Minggu, 18 Agustus 2013

PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG

A. Wayang Ricikan
1. Gunungan, kayon, menggambarkan nyala api
2. Kayon gurda pepohonan gede
3. Prampogan pasukan manusia
4. Prampogan pasukan buta (yaksa)
5. Kereta, jumlah 2 buah
6. Kuda hitam besar1, kuda putih ukuran sedang 1, kuda kecil 1, kuda
geculan kepala sopakan 1, jumlahnya jadi 4 buah.
7. Gajah putih dan gajah klawu (abu-abu) jumlahnya 2 buah
8. Naga Raja makutan Ywang Antaboga
9. Naga Geni jamang pogogan gruda kecil (perempuan)
10. Sawer Ula besar
11. Macan Gembong dan macan putih 2 buah
12. Burung Garuda, Wilmuka buta dengan sayap Wilmana burung besar
tunggangan Boma 3 buah.
13. Banteng
14. Kerbau 2 buah
15. Kijang 2 buah
16. Rusa 2 buah
17. Babi
18. Burung Dewata
19. Burung kecil jumlah 4 buah
20. Minarda ikan besar
21. Kepiting besar 2 buah
22. Tikus 2 buah
23. Kodok 2 buah
24. Kelelawar 2 buah
25. Kendela 2 buah
26. Kalajengking 2 buah
27. Ayam Jago 2 buah
28. Brayut laki-laki dan wanita ditemani anak kecil jadi jumlahnya 3 buah
29. Nyamuk 2 buah
30. Serat kalimasada
31. Surat iber-iber
32. Ergelek (kenti) 2 buah
33. Kendi pratala 2 buah
34. Gelas minuman 4 buah
35. Rangka keris
36. Sumbul
Buah-buahan yang dijadikan bentuk wayang untuk pedalangan
1. Nanas
2. Ketimun
3. Semangka
4. Jeruk gulung
5. Manggis
6. Jeruk kecil
7. Kelapa
8. Jambu seikat
9. Blimbing
B. Macam-macam senjata
1. Keris lurus kecil bagus bentuknya, ada 2 buah
2. Keris besar kecil, ada 4 buah
3. Keris luk kecil bagus bentuknya, ada 2 buah
4. Keris luk besar kecil bentuknya, ada 4 buah
5. Panah kecil untuk perempuan, ada 2 buah
6. Panah kecil untuk laki-laki, ada 2 buah
7. Panah kepala burung, Sarotama, ada 1 buah
8. Panah Nagapasa ada 1 buah
9. Panah rantai ada 1 buah
10. Nanggala, seperti cis kecil pendek
11. Alugara (alu besar)
12. Denda
13. Cakra dengan deder (cakra baswara)
14. Gada Lukitasari gada besar
15. Gada Rujak polo gada sedang
16. Bindi gada lumrah jumlah 2 buah
17. Limpung musala
18. Candrasa
19. Badama
20. Cakra
21. Cis
22. Cundrik
23. Tlempak
24. Kudi
25. Arit
26. Petel
C. Wayang Katongan
Wayang Panggungan. Yaitu wayang Yang dijajar di kiri dan kanan paseban,
ditancapkan di gadebog atas, di tengah ditancapkan wayang gunungan yang
dinamakan wayang panggungan, sedangkan penataannya dinamakan
menyumping.
Wayang katongan. Yang disebut wayang katongan yaitu wayang para ratu
yang di panggung sumpingan kiri dan kanan, sedangkan yang dinamakan wayang
pranakan yaitu semua wayang putra ratu atau putra satria, yang ikut dijajar di
sumpingan kiri dan kanan paseban tersebut.
Wayang Dugangan. Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut
disumping, termasuk wayang dugangan. Wayang Ricikan. yang dinamakan
wayang ricikan yaitu wayang kayon (gunungan), prampogan, kereta, kuda gajah
serta senjata. Wayang Dagelan. Yang dinamakan wayang dagelan yaitu wayang
yang berwujud buta kecil tanpa badan, orang banyak menamakannya wayang
setanan. kalau sedang memainkan lakon wayang dengan wadubarat anggoda.
Pengambilan kata wayang dagelan tadi artinya buta tanggung. Tapi ada sejeis
wayang pembantu dinamakan punakwan (wulucumbu) Semar, Gareng Petruk, dan
ada lagi Cantrik, Cangik, Limbuk, Togog, Sarahita termasuk golongan wayang
dagelan.
Wayang gusen. Yang dinamakan wayang gusen yaitu wayang yang terbuka
mulutnya seperti Dursasana, Hindrajit dan lain sebagainya. Sedangkan Sengkuni,
Pandita Durna, Kartawarma dan sebagainya itu dinamakan gusen tanggung,
artinya wayang gusen tadi wayang yang kelihatan gusinya, kelihatan meringis.
Wayang Liyepan. Yang dinamakan wayang liyepan dan wayang lanyapan,
wayang pantelengan, menurut pada bentuk mata. Satu mata liyepan, dua mata
pantelengan. Wayang yang matanya liyepan untuk wayang nglangak dinamakan
lanyapan. Wayang yang matanya pantelengan dibuat jadi mata kadondongan,
menurut kebutuhannya sendiri. Kata liyep artinya ruruh, seperti Harjuna dan lainlain
sesama wayang tumungkul. Kata lanyapan yaitu wayang kebanyakan, seperti:
Samba, Rukmarata, Wisanggeni dan wayang yang nglangak.
Wayang kantep. Semua wayang yang bertangan dan kaki kepanjangan
kurang seimbang dengan badannya dinamakan kanteb, dari kata orang jatuh
terduduk disebut kanteb, pasti kakinya selonjor. Wayang kanteb itu kebanyakan
tanpa pola. Wayang murgan. Wayang yang dibuat tanpa pola misalnya Harjuna
tua, wandanya tidak menurut Jimat, Mangu, Kancut, maka dinamakan murgan.
Diambil dari kata mirunggan artinya menyendiri keluar dari adat yang sudah
kaprah. Misalnya orang membatik tanpa pola dinamakan ngrujag.
Wayang Srambahan. Yaitu semua wayang yang luwes lincah untuk
pinjaman dalam lakon apa saja, seperti wayang Gatutkaca dengan makuta bisa
digunakan untuk ratu Sabrangan; wayang Harjuna ditambah dengan slendang,
bisa dipinjam jadi Sakutrem, Palasara, Partadewa dan lain-lain, ada lagi Premadi
sampir, wayang baku ditambah sandang jadi kelihatan berubah dari pola wayang
yang pertama. Wayang srambahan itu banyak sasahnya. Sebangsa wayang
dudahan punggawa dan patih-patihan itu hampir semua bisa dinamakan wayang
srambahan. Tapi ada wayang buta prepatan, yaitu wayang candra sangkala memet
yang juga dinamakan wayang srambahan yaitu wayang buta punggawa yang bisa
luwes untuk pinjaman dalam cerita lakon apa saja, pasti jadi punggawa para ratu
Sabrangan apa saja untuk dijadikan utusan.
Wayang buta prepatan. Yaitu wayang buta candra sangkala tersebut,
pertama buta Panyareng umumnya disebut Buta Cakil, kedua buta rambut geni,
ketiga buta endog, keempat buta gombak (buta galiyuk) untuk melengkapi jika
ada lakon ratu Buta atau ratu Sabrang, sebagai utusan (caraka). Teman Togog dan
Sarahita. Atau digunakan untuk perang kembang, arti perang kembang adalah
perang kebanyakan orang terbunuh, hanya sebagai cara kematian caraka.
Wayang jujudan. Yang dinamakan wayang jujudan yaitu semua wayang
yang ditambah ukurannya jadi lebih besar dari polanya. Wayang pedalangan.
Yang dinamakan wayang pedalangan itu adalah wayang-wayang yang pasti
digunakan para dalang sedangkan ukuran wayang tidak besar atau tidak kecil,
ukurannya sedang enak dipakai semalam suntuk tidak merasa lelah. Jadi sudah
termasuk ukuran umum, diakai oleh para dalang. Wayang ribig. Yang dinamakan
wayang ribig yaitu wayang yang bentuknya turut-runtut, kalau disumping tidak
kelihatan naik turun, bahu dan palemahannya bisa rajin. Dari wayang yang besar
sampai yang kecil kelihatan enak dipandang. Wayang bajujag. Yang dinamakan
wayang bajujag yaitu wayang yang tidak ukurannya tidak tetap ukurannya.
Wayang dibuat tanpa pola atau meninggalkan pola.
Ketika bertahtanya Sinuwun Kanjeng Susuhunan P.B. IX di Surakarta,
waktu itu Kanjeng Pangeran Hadipati Harya Mangkunagara yang ke IV,
meminjam wayang purwa pada kraton lalu diberi wayang purwa Kyai Kadung
yaitu wayang yang hanya untuk lakon Rama, akan digunakan untuk wayangan.
Ketika itu banyak para dalang yang merasa terlalu berat karena wayangnya
kebesaran lalu menumbuhkan keinginan kanjeng pangeran untuk membuat
wayang, kebetulan di Mangkunagaran belum punya wayang purwa. Wandanya
seperti Kyai Kadung, ukurannya diperkecil serta badannya disesuaikan. Dewadewanya
hampir semua memakai makuta dan topong, bajunya dibuat pendek, jadi
tidak memakai jubah, bawahannya memakai kain rapekan pingirnya sembulihan.
Sedangkan Batara Kumajaya masiha tetap dengan gelung seperti Premadi, hanya
Batara Surya dan Patuk Tamboro yang masih tetap tidak berubah bentuknya.
Wayang itu dibuat dua perangkat yaitu jadi dua kotak, lengkap wandanya.
Dagelan yang satu golongan disebut Kyai Sebet pangkat I, cirinya ada di
palemahan yang diberi warna bendera Belanda, merah putih biru M.N.I.
sedangkan sisa wayang disebut jadi Kyai Sebet pangkat II, dasarnya cat M.N. II
prada. Ketika itu tahun 1793 dengan candrasangkala Mantri Trusta Mumuji di
Gusti, menunjukkan tahun 1793. Jadi menurut ukuran besar kecilnya wayang,
Kyai Sebet itu masih lebih besar dibandingkan dengan wayang pedalangan pada
umumnya.
D. Penyumping atau Paniti
Panyumping itu pekerjaannya menata wayang kulit jika akan dimainkan
Ki dalang dalam suatu hajatan, misalnya dalam pernikahan dan lain-lain.
Tugasnya mengatur wayang dalam tarub (rumah atau gedung). Menatanya harus
diatur agar serasi ditonton karena wayang kulit kalau digunakan untuk
memperindah acara harus bisa kelihatan rapi asri jika dipandang membuat senang.
Karena wayang kulit itu kalau sudah selesai ditata akan mewujudkan seni
keindahan kebudayaan Jawa asli, cara menata gamelan juga harus di tempat yang
tepat jangan sampai menutupi yang lain.
Kewajiban panyumping wayang kulit itu jika sudah selesai penataannya
harus bisa memasang blencong lampu wayang. Jika sudah dibersihkan lalu
dipasangi sumbu tali (uceng-uceng). Pemasangan sumbu jangan sampai terlalu
kuat karena jika sudah diisi minyak akan medok, kalau ditarik dengan sapit jadi
susah sehingga nyala apinya tidak bagus, tidak bisa terang, lebih sering surut
nyalanya, yang terbakar hanya sumbunya saja, minyaknya tidak. Makanya jadi
sering kelihatan hitam.
Sebaliknya jika sampai terlalu longgar juga tidak baik, serignkali sampai
kehabisan sumbu, jika ditarik sumbunya terlalu mudah lepas, mintaknya akan
menetes ke bawah membuat susah dalang karena sering terkena tetesan minyak.
Apa lagi jika minyak itu sampai menetesi wayang akan menjadi cacat dan meruak
wayang. Wayang kulit kalau sampai terkena minyak akan rusak catnya, lau
gampang terkena jamur, wayangnya lalu kelihatan lusuh catnya. Makanya harus
bisa mengira-ira agar pemasangan sumbu blencong tadi baik. Mempersiapkan
wayang yang akan dipakai oleh Ki dalang dalam lakon yang akan dimainkan.
Sebelum wayang dipakai, panyumping harus meminta keterangan dulu pada Kyai
dalang tentang lakon apa yang akan dimainkan dan apa wayang yang akan keluar
nanti.
Jika sudah mendapat keterangan tentang wayang yang dibutuhkan oleh
dalang, panyumping lalu mulai menata wayang dan mulai dirakit, dipilih wayang
yang akan digunakan diletakkan di tempat yang tepat supaya gampang dilihat oleh
Ki dalang. Sedangkan wayang katongan (yaitu ratu) yang akan keluar pertama
diletakkan dalam sumpingan kanan ditancapkan dalam gadebog paseban sebelah
bawah misalnya Prabu Kresna atau Prabu Yudistira, disesuaikan dengan lakonnya.
Katongan di sebelah kiri juga ditancapkan sekalian, misalnya Prabu Baladewa
atau sang adipati Karna ditancapkan di sebelah kiri di paseban bawah. Kalau
sudah lalu patih-patihan punggawa dan putran yang akan dipakai cukup
diletakkan dalam eblek di atas tutup kotak, sedangkan yang ada dalam kotak yaitu
para punggawa patih dan buta prepat atau para putran yang tidak termasuk dalam
sumpingan diatur dengan urut. Buta dengan buta, punggawa manusia dengan
manusia, jangan dicampur agar tidak bingung kalau akan mengambil wayang
yang dibutuhkan. Tersebut yang dinamakan ndapuk yaitu menyiapkan wayang
yang dibutuhkan oleh Ki dalang menurut lakonnya. Wayang yang tidak
dibutuhkan diletakkan dalam kotak bawah diberi pembatas eblek, karena wayang
itu tidak akan keluar untuk lakon, tidak perlu diubah nanti malah rusak dan
kelihatan berserakan.
E. Posisi Penyumping
Jika dalang sudah mulai memainkan wayang, panyumping lalu duduk di
sebelah kiri satu, di sebelah kanan satu. Panyumping itu sebaiknya dua orang,
yang kiri duduk di kiri dalang dibatasi kotak untuk membantu Ki dalang kalau
membutuhkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kiri dan jauh dari si dalang,
sedangkan yang ada sebelah kanan dalang duduk di kanan dalang dibatasi tutup
kotak, tugasnya membantu mengambilkan wayang yang ada di sumpingan sebelah
kanan yang kira-kira Ki dalang tidak sampai mengambilnya.
Cara mengambil wayang dalam sumpingan itu harus hati-hati jangan
sembarangan. Wayang mana yang dibutuhkan, misalnya wayang Premadi.
Dimana tempat wayang putran Premadi tadi, cara mengambilnya yang benar yang
harus dibuka dulu belakangnya baru mengambil gapit wayang Premadi dengan
tangannya diringkas jangan sampai menyangkut wayang yang lain lalu ditarik
pelan-pelan dengan memperhatikan bahunya, menyangkut atau tidak. Jika
sekiranya sudah tidak menyangkut maka mulai ditarik lagi. Begitu seterusnya cara
mengambil wayang dalam sumpingan, jadi jangan dipaksa asal mengambil saja.
Ada dalang yang tidak mengerti cara jadi panyumping wayang padahal
dalang itu sudah kondang dan laris, lincah memegang dan menyabet wayang tapi
tidak bisa mengambil wayang dalam sumpingan dengan benar, mengambilnya
hanya sembarangan saja. Wayang diambil dengan berjongkok lalu dipegang
kepalanya ditarik ke atas. Cara seperti itu salah, belum tahu apesnya wayang.
Semua kepala wayang yang ada di sumpingan itu semua mudah rusak, ada
wayang yang makutan (topongan), ada yang gelung. Ukirannya seritan
melengkung bulat dan ada yang jungkungan (pogogan) gruda atas, ada yang
gelung keling. Itu semua ukirannya serba rumit dan kulitnya pasti tipis rata, gapit
yang paling atas yang jatuh di kepala wayang itu pasti tipis, sampai ada yang sama
dengan lidi, tarkadang kalau kurang ada ada yang disambung. Tersebut kalau cara
mengambil wayang ditarik dari atas kurang baik. Kadang bisa mematahkan gapit
bagian kepala atau memutuskan tatahan wayang yang rumti rumit tadi. Terlebih
lagi jika sampai pada wayang yang gelungnya ditatah seritan, itu yang paling
rapuh. Misalnya wayang Janaka atau Gatutkaca rambutnya ditatah seritan, kalau
wayang baru kultinya masih kuat, tapi kalau wayang lama atau wayang kuna pasti
sudah rapuh karena sudah sangat kering, kulitnya jadi getas gampang putus,
begitu juga gapitnya.
Panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau berkongkok itu
dinamakan diksura (tidak tahu tatakrama). Itu kurang baik, tidak bisa menghargai
pada wayangnya, hanyadianggap seperti barang remeh saja, padahal wayang yang
ada di sumpingan itu adalah bentuk para ratu dan para satria. Kalau cara
mengambil sesuka hati maka seperti menghina.
Makanya panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau
jongkok dinamakan diksura. Wayang jikia sudah digelar dalam keramaian pasti
banyak para tamu yang hadir, duduk melihat wayang yang sudah dipasang rapi
beserta gamelannya sekaligus. Setelah itu melihat Ki dalang memainkan wayang.
Padahal tamu tersebut bermacam-macam pangkatnya ada yang tinggi ada yang
rendah, sampai penonton yang ada di luar juga datang menonton. Jika melihat
panyumping yang sembarangan akan membuat kurang baik dipandang dan
mengganggu tontonan yang adi luhung tersebut. Sebaiknya mengambil wayang
itu dengan duduk saja, apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang.
Jika panyumping yang ada kanan dalang, meletakkan wayang di atas tutup
kotak kanan dalang, gapitnya diaturkan pada Ki dalang. Jadi kalau dalang akan
mengambil jangan sampai memegang kepala wayang. Panyumping yang ada
sebelah kiri, meletakkan wayang dalam kotak jangan sampai terbalik, begitu
seterusnya.
Jadi dalam wayang itu jika sudah mulai main jangan sampai ada orang
yang kelihatan bersliweran di depan pagelaran tersebut, jadi panyumping boleh
berdiri di belakang dalang itu hanya jika akan menambah minyak lampu blencong
saja (lampu wayang).
F. Sabetan Wayang
Ada lagi jika dalang akan memainkan wayang, di atas kotak diletakkan
eblek melintang di atas kotak, lalu diletakkan wayang sampai kelihatan
menumpuk. Itu tidak baik, jika dilihat jadi kotor. Kebanyakan melakukannya
adalah dalang di pedesaan yang meniru cara pesisir. Sedangkan di Yogyakarta
caranya juga seperti itu. Wayang yang berada di atas eblek itu akan digunakan
dalang dalam sabetan wayang yang akan perang dilempar-lemparkan, biasanya
lalu menyangkut dengan yang ada di atas eblek tersebut. Malah ada yang kadang
terkena siku sehingga mematahkan pegangan tangan wayang. Jadi panyumping
dalam melayani dalang semalam harus bisa hafal wayang apa saja yang pasti ada
dalam lakon dan harus bisa mengetahui apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki
Dalang menurut lakon juga harus ingat pada wayang yang sudah tidak akan keluar
lagi dan segera disingkirkan jangan sampai mengganggu wayang yang masih
digunakan dalam lakon, cerita wayang semalam tersebut diletakkan dicampur
dengan wayang dudahan yang tidak termasuk dalam lakon tadi.
Meletakkan senjata wayang yang jelas satu-persatu, jangan hanya asal
diletakkan saja. Perlu dipilih senjata yang pasti digunakan, disiapkan di tempat
yang gampang mengambil sewaktu-waktu dalang membutuhkan. Jadi
panyumping harus bisa mengatur wayang pada saat acara karena itu adalah untuk
pameran, harus kelihatan rapi rajin dan bisa menimbulkan kaindahan yang adi
luhung, jangan sampai mengecewakan. Begtersebut pekerjaan panyumping. Kalau
di kraton Surakarta yang punya kewajiban adalah abdi dalem Lembisana, yaitu
abdi dalem yang pekerjaannya merawat bermacam-macam wayang kulit, ia
tinggal dalam gedung Lembisana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar