Minggu, 18 Agustus 2013

JENIS - JENIS PEMENTASAN WAYANG

A. Wayang Panggungan
Yang dimaksud wayang panggungan adalah wayang yang ditata
ditancapkan di gadebog sebelah kiri dan kanan tempat duduk dalang kalau sedang
memainkan wayang, atau di sebelah kanan biasanya ditancapkan di gadebog yang
ada di atas tutup kotak wayang, juga diatur dengan bentuk barisan mulai dari yang
besar sampai kecil, sebagai penyeimbang yang sebelah kanan. Sedangkan tempat
kosong yang ada di tengah hanya untuk menancapkan satu buah kayon
(gunungan), gunanya untuk menancapkan wayang yang akan keluar dalam lakon.
Kalau wayangnya banyak kadang-kadang sampai di gadebog yang ada di bawah.
Cara penataannya, wayang itu diurutkan menurut wayang yang sudah
ditentukan penataannya, sedangkan urutan menata wayang panggungan tadi
disebut nyumping, karena bentuk penataannya kalau dilihat dari kejauhan
kelihatan seperti sumping, jadi semua wayang yang keluar ditancapkan di
gadebog dekat dengan kelir tadi disebut wayang panggungan. Kebanyakan adalah
wayang katongan, para ratu atau para satria dengan para putri dan putran,
ditancapkan untuk memperindah kelir, ditempatkan di sebelah kiri dan kanan agar
kelihatan edi peni dan indah jika dilihat.
B. Wayang Dugangan dan Ricikan
Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping disebut
wayang dugangan, kata dugangan diambil dari tingkah laku wayang kalau sedang
dimainkan. Mereka tidak berperang dengan senjata, tapi pasti saling menendang,
saling meninju, dan saling buang. Kalau sudah kalah, yang kalah baru sesumbar
akan menggunakan senjatannya. Itu semua disebut wayang dugangan.
Yang dimaksud wayang ricikan seperti Gunungan (kayon), prampogan,
kereta, senjata (gaman) dan sebangsa buruan. Disebut ricikan karena mengambil
dari kata angracik, sebagai pelengkap untuk memainkan suatu lakon. Wayang
ricikan itu pasti dipakai. Misalnya wayang satu kotak wayang ricikannya kurang
satu seperti Gunungan, Prampogan, Kuda, dan senjata (gaman), tentu tidak akan
bisa untuk dimainkan. Tersebut manfaat wayang ricikan yang sudah pasti dipakai.
C. Wayang Buta Prepatan
Yang dimaksud wayang buta Prepatan itu kebanyakan adalah wayang
Murgan, yaitu wayang susulan, jadi berbeda dengan wayang baku. Kebanyakan
wayang danawa Sangkalan atau wayang buta Cadra sangkala seperti Buta Cakil
(Panyareng), buta Rambutgeni, danawa Emban Kenyawandu, buta Endog, buta
Terong (Cungklok), kalau sekarang ditambahi buta Gombak (Galiyuk atau kobis).
Wayang danawa Prepatan tadi untuk melengkapi lakon ketika ada adegan para
ratu sabrangan. Buta Prepatan tadi dijadikan sebagai utusan, tiga danawa tadi sami
diutus untuk pergi ke tanah Jawa. Wayang danawa yang diperlukan adalah Togog
dan Sarahita sebagai cucuk lampah. Atau diperlukan dalam perang gagal atau
perang kembang, perang kembang artinya perang yang tidak ada yang mati.
Dinamakan danawa Prepatan karena dalam perang, tiga danawa berperang
empat kali, yang pertama buta Cakil perang lalu melarikan diri mencari bantuan.
Yang kedua buta Rambutgeni atau Pragalba, terserah yang mana yang disenangi,
membantu perang sampai mati. Perang yang ketiga buta Galiyuk atau buta Endog
atau buta Terong, salah satu mana yang disenangi, melanjutkan perang sampai
mati. Sedangkan perang yang keempat, buta Cakil kembali lagi maju perang terus
sampai mati. Tersebut yang dimaksud wayang danawa Prepatan.
D. Wayang Sangkuk
Yang dimaksud wayang sangkuk adalah semua wayang yang tidak lurus
bentuknya, jadi mulai pinggang naik agak dibuat maju sedikit, jadi wayangnya
kelihatan agak maju sedikit seperti orang agak bungkuk, jadi kata sangkuk di sini
mempunyai maksud, mulai di pinggang atau naik dibuat agak maju seperti orang
yang agak bungkuk, maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa tatakrama, begitu
maksud wayang dibuat sangkuk.
Wayang sangkuk dibuat ketika jaman Sinuhun Sultan Agung
Anyakrakusuma di Mataram, dengan maksud mempunyai rasa kesusilaan dan
tatakrama hanoraga (hanoraga artinya merindahkan diri), ketika tahun candra
1553 – tahun Jawa. Wayang wungkuk kebanyakan adalah wayang kuna, awalnya
wayang dibuang sangkuknya ketika jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. yang
ke II di Surakarta, yang mengubah bentuknya Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati
Anom yang ke II, bentuk wayang dibuang sangkuknya, ditatah oleh Ki
Cermopangrawit dengan Kyai Gondo. Ketika tahun 1697 wayang sangkuk adalah
kebalikan dari wayang andeteng, wayang andeteng nantinya masih lazim dipakai.
Tentunya tidak terlalu andeteng, hanya sedikit saja. Dibandingkan dengan lainnya,
wayang yang agak andeteng itu kebanyakan logok mempunyai tindak tanduk yang
kelihatan gaib, misalnya; Suryoputro, Hadipati Karna, Ratu Sabrang Bagus,
Bambangan yang tanpa celana panjang. Andeteng maksudnya mempunyai rasa
gaib.
E. Ukuran Wayang
Wayang kaper
Yang dimaksud wayang Kaper itu adalah wayang Purwa tapi dibuat
ukuran kecil. Wayang kaper yang ukurannya besar sendiri, misalnya wayang Buta
Raton atau Werkudara, besarnya hampir sama dengan Kresna atau Harjuna dalam
wayang pedalangan yang umum. Jika diurutkan ke bawah, wayang bambangan
kira-kira sebesar putren kecil, biasanya hanya untuk mainan anak kecil yang
senang dan mempunyai dasar pengetahuan pedalangan.
Yang suka membuat wayang kaper itu biasanya orang yang kaya serta
suka pada tontonan wayang kulit sekalian untuk mendidik putranya. Jadi hanya
karena senang pada wayang kulit sampai tidak terasa mengeluarkan banyak biaya,
hanya untuk menyenangkan hati. Makanya wayang kaper itu kebanyakan komplit
lengkap sampai wayangnya sisa, rangkap-rangkap sampai lebih dari 300an buah
karena tidak mengerti tentang peran masing-masing wayang, hanya menuruti
keinginannya saja.
Wayang Kijangkencanan
Wayang Kijangkencana itu juga termasuk wayang purwa. Yang dimaksud
Kijangkecanan itu adalah nama ukuran wayang atau wayang kencanan, artinya
ukuran sedang, tidak kecil tidak besar, jadi mengambil ukuran tengah. Biasanya
yang besar sendiri dalam wayang kencanan tadi, msialnya wayang Buta Raton
atau Tuhuwasesa yang disumping paling depan, ukuran wayang mengambil
ukuran wayang Gatutkaca dalam pedalangan umum. Begitu seterusnya, disebut
wayang ukuran kencana atau wayang tanggung. Yang suka pada wayang
tanggung itu kebanyakan hanya orang yang kaya serta senang memiliki wayang
purwa.
Maksudnya agar bisa ringan jika dimainkan kyai dalang kalau sedang
memainakn wayang, jangan sampai kelihatan ngoyo dalam memegang wayang
kalau dilihat orang banyak. Begitu maksud dibuatnya wayang tanggung yang
diberi nama Kijangkencanan tadi. Adapun wayang bernama Kijangkencanan
ketika jaman Sinuhun Ratu Tunggul di Giri, ketika tahun candra 1478 tahun Jawa,
diberi candra sangkala memet berupa wayang Dewa Batara Guru mengendarai
sapi andini, salira dwija jadi raja. Itu adalah tahun 1478.
Wayang Pedalangan
Wayang pedalangan artinya ukuran umum (normal biasa) ukuran lumrah
bagi pawayangan pada umumnya yang umum dipakai para dalang kalau akan
memainkan wayang. Jadi yang dimaksud wayang pedalangan adalah wayang
dengan ukuran lumrah, dimana-mana bisa urut ukurannya.
Wayang besar (Gede)
Wayang besar biasanya disebut Jujudan, ditambahi ukurannya menurut
lebarnya palemahan, menurut wayang yang dijujud. Misalnya wayang buta Raton,
yaitu menurut berapa lebarnya palemahan Buta Raton tadi, begitu seterusnya.
Wayang besar itu kalau untuk umum tidak biasa, selain kebesaran juga
kelihatan terlalu besar memenuhi tempat, tidak seimbang dengan keadaan tempat.
Bagi yang memainkan, yaitu dalangnya, juga kelihatan susah keberatan wayang,
makanya tidak lumrah menurut umum. Wayang besar biasanya hanya digunakan
di Kraton, bisa kelihatan komplit selaras dengan keadaan tempat. Kalau sudah
dipajang kelihatan indah. Yang masih ada sekarang hanya tinggal untuk tontonan
di museum Radyapustaka di Surakarta. Jadi wayang besar itu biasanya hanya
untuk di Kraton, agar jika untuk digelar tidak kelihatan kecil dan seimbang
dengan keadaan tempat.
Wayang-wayangan
Yang dimaksud wayang-wayangan itu adalah tiruan wayang, artinya
wayang yang tidak mempunyai wanda. Jadi wayang yang hanya sekedar berwujud
wayang sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Wayan-wayangan itu kebanyakan
bajujag tidak bisa rata karena wayang satu kotak isinya bermacam-macam
asalnya, dikumpulkan dari satu dua dan lagi membelinya dari tukang penatah
yang berbeda-beda. Jadi garapannya tentu saja tidak bisa sama, kelihatannya jadi
berwarna-warni. Kebanyakan tatahannya tidak luwes karena tercampur panatah
yang sedang belajar, sedangkan kulitnya juga hanya sedapatnya, tidak mencari
mana yang baik. Artinya, yang tebal kadang terlalu tebal, yang tipis kadang
sampai seperti kertas. Pewarnaannya juga begitu, hanya sekedar kelihatan
gemerlap, catnya hanya memakai ancur kulit bukan ancur lempeng (kripik).
Makanya kalau terkena hawa dingin lalu lengket mudah luntur, tidak bisa
dimandikan, makanya kelihatannya lusuh.
Gapitnya ada yang hitam, ada yang lugasan, tapi kadang ada satu dua yang
diberi gapit tanduk hitam. Adapun wayang yang biasa dipakai itu jumlahnya tidak
banyak, kira-kira hanya 125 buah, juga ada yang kurang dari 110 buah. Sudah
biasa bagi wayang di pedesaan, kadang ada yang menamakan wayang gunung,
karena wayang itu biasanya digunakan untuk mengamen di pedesaan sampai
sampai di pegunungan. Wayang-wayang itu kadang-kadang tercampur dengan
wayang yang baik, artinya wayang yang memang baik yang dibuat oleh para luhur
atau orang di kota yang suka wayang.
Wayang di pedesaan itu malah lebih banyak tersebar, hampir sepanjang
pesisir utara dan selatan yang suka wayang membeli wayang itu. Selain harganya
murah, juga sudah bisa mencukupi untuk mencari penghasilan, sudah bisa untuk
menyangga hidup. Para dalang di pedesaan atau para dalang di pesisir kalau
mengumpulkan wayang hanya dengan membeli dari satu dua mencicil dari
sedikit. Pembayarannya dengan uang sisa jika ada tanggapan, berapa sisanya
menurut kekuatannya sendiri. Tanggapan di pedesaan biasanya harganya murah.
Wayang-wayangan tadi kadang ada yang menatah sendiri untuk segera
melengkapi wayang yang untuk mencari uang. Ada pula yang memakai cara
tukar-menukar wayang segala. Yang kalah bagus menambah uang, makanya
wayangnya kebanyakan tidak bisa runtut, campuran, jadi garis besarnya hanya
mencari lengkap saja.
F. Wayang Dolanan
Wayang dolanan itu wujud dan coraknya hanya sekedar bersifat wayang,
tanpa ukuran. Artinya di sini, besar kecilnya tidak bisa ditentukan sebab tidak ada
polanya, dalam membuat gambar hanya sedapatnya saja asal bisa jadi wayang.
Biasanya dibuat dari kertas karton atau kertas dilem rangkap tiga atau mencari
kertas yang kuat. Pembuatannya ditatah tapi cara panatahnya dirangkap, kalau
kertasnya tipis sering sampai rangkap 10 lembar, jadi setengah kodi. Penjualannya
dengan cara kodian seperti kain. Wayangnya juga dicat tapi hanya empat macam
yaitu merah, hitam, kuning, dan hijau. Pengecatannya ada yang hanya sebelah,
ada yang bolak-balik (kiri kanan), kadang ada yang tangannya masih irasan, juga
sudah ada yang sopakan. Yang tangannya masih irasan wayangnya bertolak
pinggang atau malangkadak, sedangkan yang tangannya sopakan dijahit dengan
benang agal, jadi bisa lebih hidup. Bagian alusan dicat dengan cat pudar, cat ancur
lin (atau ancur lem kayu) ada yang dibrom, diberi gapit seperti tusuk sate,
pegangannya dari bambu yang dibelah terus dipakai menggapit diikat dengan tali
benang, terus diruncingkan dan ditancapkan di gadebog, lurus tanpa lengkung.
Biasanya dijual ke pasar kalau hari pasaran atau di Pasarmalam serta di
Sekaten, begitu seterusnya. Biasanya yang membeli adalah anak dari pedesaan.
Selain harganya murah juga sudah kelihatan bagus. Yang dimaksud wayang
pasaran artinya penjualannya hanya di pasar. Kebanyakan tentu di pasar pedesaan
karena yang senang bermain wayang seperti itu kebanyakan hanya anak di
pedesaan saja.
Wayang bocah angon (anak gembala) itu dibuat dari batang rumput
dondoman yang kuat. Rumput itu dibuat seperti wayang dengan cara yang
bermacam-macam. Kalau sudah jadi lalu dikumpulkan biasnya sebanyak 10 buah,
kalau lebih dari 10 tentu sudah bosan, lalu diguankan sebagai sebagai selingan
waktu menggembala kerbau atau sapi di padang rumput. Ada yang membuat
sambil bercerita, yang sudah jadi lalu dimainkan seperti dalang memainkan
wayang, diberi musik dari mulut saja, ramai terlihat senang bercanda bersama
teman.
Yang dimaksud di sini adalah wayang ketika jaman Kartasura sampai
jaman Demak ketika Raden Patah menjadi ratu di Demak, tapi sudah tidak ada
buktinya. Jadi wayang kuna itu jelas sudah hilang tidak ada wujudnya lagi, hanya
tinggal dalam cerita dongeng saja yang sudah ditulis dalam serat-serat
pengetahuan tentang wayang. Yang masih ada sekarang hanya tinggal wayang
jaman Surakarta, yang bisa tersebar sampai ke seluruh dunia.
Dimana-mana, setiap Kasultanan biasanya mempunyai wayang sendiri.
Bentuk berbeda-beda, disesuaikan dengan daerahnya sendiri. Misalnya wayang
Cirebon, wayang Yogyakarta, wayang Surakarta, semua itu wayang kulit tapi
bentuknya berbeda-beda, mempunyai bentuk sendiri. Makanya wayang di
sepanjang pasisir itu sabagian besar bentuknya tidak beraturan karena tercampur
wayang dari mana-mana, jadi tidak bisa itutlu mengambil bentuk yang sama.
Wayang campuran yaitu wayang dari bermacam-macam tempat dikumpulkan lalu
dicampur jadi satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar