Minggu, 18 Agustus 2013

PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN

A. Gelar Ratu Jaman Purwa
Di Campalareja:
1. Prabu Gandabayu
2. Prabu Drupada (Sucitra)
Di Mandaraka:
1. Prabu Mandukumara
2. Prabu Madrakiswara
3. Prabu Naradatta
4. Prabu Salya, Narasoma, Somadanta, Mandradipa, Mandrakeswara
5. Prabu Nangkula dan Sahadewa menjadi ratu setelah mempunyai putra raden
Keswara
6. Prabu Kesrawa sudah jaman Madya
Di Kumbina:
1. Prabu Bismana (Hiraniyaka) atau prabu Rukmana
Di Lesanpura:
1. Prabu Setyajit (Hekawama), atau prabu Hugrasena
2. Prabu Wresniwira (Setyaki), Bimakunting, Sarayuda, Sinisuta, Ekaboma,
Yaduwresni.
3. Prabu Sangasanga
Di Mandura:
1. Prabu Kuntiboja
2. Prabu Basudewa (Balarama)
3. Prabu Baladewa, Kakrasana, Basukiyana Wasi Jaladara, Kusumawalikita
4. Prabu Hudara, jaman madya
Di Ngawangga (Wangga):
1. Prabu Dhasta
2. Prabu Turila
3. Prabu Hadirata
4. Prabu Karna, Basusena, Suryaputra, Radeya, Kuntibojanata
Di Dwarawati:
1. Prabu Kresna, Wisnumurti, Sribatara Harimurti, Narayana, Janardana,
Danardana, Narayana, Basudewa putra.
Di Amarta:
1. Prabu Yudistira, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmakusuma,
Darmawangsa, Darmaraja, Kuntadewa, Gunatalikrama, Dwijakangka
Di Trajutisna:
1. Prabu Bomantara
2. Prabu Bomanarakaswara
3. Rpabu Satija Mahija, Mahitalasuta
4. Prabu Hantariya
Di Wirata:
1. Prabu Basurata
2. Prabu Basupati
3. Prabu Basumurti
4. Prabu Basukesti
5. Prabu Basukeswara
6. Prabu Basuketi (Wasupati)
7. Prabu Matswapati, Durgandana, Wirateswara, Matswanata, Baswendra
Di Astina:
1. Prabu Hastimurti, Basusena, Hastima
2. Prabu Wasanta, Dewamurti
3. Prabu Pratipa
4. Prabu Dwipakiswara, Palasara
5. Prabu Santanumurti raja pandita bagawan
6. Prabu Citranggada
7. Prabu Citrawirya
8. Prabu Kresna Dwipayana, Abyasa, Dewayana, Rancakaprawa,
Sutiknaprawa, Wijasa
9. Prabu Pandudewanata, Dewayana, Gandawastra, Darmaraja
10. Prabu Drestarata, Drestanagara, Drestarastra.
11. Prabu Suyudana, Druyudana, Duryudana, Kurupati, Jayapitana,
Hanggendarisuta
12. Prabu Yudistira, Darmakusuma, Gunatalikrama, Darmawangsa,
Dwijakangka, Darmaputra.
13. Prabu Parikesit, Dipayana, Darmasarana, Mahabarata, jaman Purwa akhir
14. Prabu Yugiswara, Yudayana, Baswara, jaman Madya.
Di Lokapala:
1. Prabu Deradhana, Deroddana
2. Prabu Danurdana
3. Prabu Karda
4. Prabu Lokawana
5. Prabu Wisrawa
6. Prabu Wisrawana, Danaraja, Danapati
Di Maespati:
1. Prabu Heriya
2. Prabu Kartawirya
3. Prabu Harjunasasrabahu
Prabu Harjunawijaya
4. Prabu Rurya
5. Prabu Partawirya
Di Manggada:
1. Prabu Jisis
2. Prabu Citradarma
3. Prabu Citranggada
Di Ngayodyapala:
1. Prabu Banapati
2. Prabu Banaputra
3. Prabu Dasarata
4. Prabu Ramawijaya, Ramabadra, Ramaregawa, Dasarati
5. Prabu Barata
6. Prabu Ramawijaya
7. Prabu Ramabatlawa
Di Mantih:
1. Prabu Danuja
2. Prabu Danupati
3. Prabu Janaka
Di Ngalengka, Raja Ditya:
1. Prabu Brahmanaraja
2. Prabu Banjarjali
3. Prabu Jatimurti
4. Prabu Brahmanakanda
5. Prabu Getahbankuda
6. Prabu Brahmanatama
7. Prabu Puksara
8. Prabu Malyawan
9. Prabu Sumali
10. Prabu Dasamuka, Rahwana
11. Prabu Wibisana, manusia
Di Ngima-Imantaka, Raja Yaksa
1. Prabu Niwatakawaca, Nirbita
2. Prabu Niladatikawaca
3. Prabu Niraddakawaca
4. Prabu Drawakawaca (Hardawalika)
5. Prabu Druwayana, jaman madya
6. Prabu Sarsihawa
7. Prabu Merusupadma
8. Prabu Martiki
Nama Arah dan Tempat
1. Purwa = timur
2. Narasunya = barat daya
3. Untara = utara
4. Nurwitri = timur laut
5. Pracima = barat
6. Byabya = tenggara
7. Raksira = selatan
8. Kaneya = barat laut
9. Gagana = atas
10. Patala = bawah
Cahaya Matahari
1. Arkasuta = sinar matahari
2. Harjamaya = cahaya matahari
3. Kastuba = merahnya matahari
4. Suryaja = terbitnya matahari
Nama Sitinggil
1. Siti luhur
2. Siti bentar
3. Sewayana
4. Mangunturtangkil
5. Manguntaraya
6. Balerungga
7. Lemah duwur
8. Bacira
9. Baciraja
10. Birasana
Nama Kahyangan
1. Jonggringsalaka kayangan Batara Guru
2. Parewarna kayangan Batara Guru
3. Giriloka kayangan Batara Guru
4. Suduk udal-udal kayangan Batara Naradda
5. Nusakambangan kayangan Batara Kala (Berawa)
6. Setragandamayu kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
7. Semaralaya kayangan Batari Durga, hyang Pramuni
8. Semarapada kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
9. Swargaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
10. Janaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
Nama kahyangan para Jawata
11. Hendraloka kayangan Batara Hendra
12. Hendrabawana kayangan Batara Hendra
13. Hariloka kayangan Batara Hendra
14. Harbawana kayangan Batara Hendra
15. Hariwanda kayangan Batara Hendra
16. Hamaraloka kayangan Batara Hendra
17. Nirayapada kayangan Batara Hendra
18. Suranadi kayangan Batara Hendra
19. Suralaya kayangan Batara Hendra
20. Surabawana kayangan Batara Kumajaya
21. Cakrakembang kayangan Batara Kumajaya
22. Cakrapura kayangan Batara Kumajaya
23. Kadewatan kayangan Batara Kumajaya
24. Kamuksapada kayangan Batara Kumajaya
25. Triloka kayangan Batara Kumajaya
26. Sunyapuri kayangan Batara Kumajaya
27. Gargadhahana kayangan Batara Brahma
28. Hargadumilah kayangan Batara Yamadipati
29. Nguntasagara kayangan Batara Wisnu
30. Saptapratala kayangan Batara Antaboga
31. Bulatan kayangan Batari Wilutama
B. Silsilah para Pandawa
1. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Pancalareja bernama
Dewi Dropadi, memiliki putra satu laki-laki bernama raden Pancawala, itu
yang disebutkan dalam pedalangan. Dewi Dropadi itu sebenarnya seorang
putri yan diperistri lima orang, yaitu Pandawa. Dari kelima orang tersebut,
dewi Drupadi bisa memiliki anak lima jumlahnya dinamakan pancaputra,
artinya jejaka lima, tapi dalam pedalangan yang sering disebut hanya satu
bernama raden Pancawala, sedangkan putra yang empat tidak disebutkan
dalam pedalangan.
2. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Sibi bernama dewi
Dewika, berputra satu laki-laki dengan nama Raden Yodeya, itu juga
jarang disebutkan dalam pedalangan.
3. Harya Sena menikah dengan putra Batara Antaboga di Sapta pratala yang
bernama Dewi Nagagini, memiliki seorang putra laki-laki bernama Raden
Antasena (Antareja).
4. Harya Sena menikah dengan saudara Raden Ditya Arimbamuka di negara
Pringgadani bernama Detyaksi Arimbi atau dewi Arimbi, berputra satu
laki-laki bernama Raden Tutuka atau raden Gatutkaca.
5. Harya Sena menikah dengan putra Raja di negara Kasi bernama Dewi
Balandara, berputra satu laki-laki bernama Raden Serbaga, dalam
pedalangan jaran diceritakan, hanya kalau memainkan lakon Irawan
Maling, dia menjadi teman raden Irawan di taman Kadilengeng Astina, itu
yang dinamakan lakon Irawan bakna.
Bentuk wayang Harya Serbaga itu seperti Antasena rambutnya ngore
udhal tiga.
Raden Harjuna memiliki tujuh orang putra:
1. Harya Sumitra, dari istri paminggir (selir) bernama Niken Rarasati
2. Harya Abimanyu dari istri padmi bernama Dewi Sumbadra
3. Harya Irawan dari istri padmi bernama Dewi Hulupi
4. Harya Wijanarka dari istri padmi bernama Dewi Gandawati
5. Dewi Pregiwa dari istri padmi bernama Dewi Manohara
6. Harya Wilogata dari istri padmi bernama Endang Manikara
7. Harya Caranggana dari istri padmi bernama Endang Maeswara
Ketujuh putra tersebut sudah termasuk dalam sejarah, sedangkan kalau ada
Bambangan dan putri atau endang lagi yang termasuk dalam cerita pedalangan, itu
hanya pinjaman saja untuk menggenapkan cerita lakon tambahan yaitu yang
dinamakan lakon carangan.
Harya Nangkula menikah dengan putri dari negara Cedhi bernama dewi
Karenuwati, berputra satu laki-laki bernama raden Niramitra, tidak diceritakan
dalam pedalangan.
Harya Sahadewa menikah dengan putri dari negara Madras putra Prabu
Jutiman, bernama dewi Wijaya, berputra satu dengan nama raden Suharta, tidak
diceritakan dalam Pedalangan.
C. Wayang Jaman Kartasura
Sebelum jaman Kartasura, wayang Gatutkaca itu hanya cukup berbentuk
wayang buta kecil. Hanya berbentuk seperti itu karena disesuaikan menurut
sejarahnya. Ketika dewi Arimbi sudah menjadi istri Sang Harya Sena lalu
memiliki satu anak berbentuk buta kecil, Harya Sena lalu memerintahkan pada
sang istri agar sang putra segera dibawa pulang ke Pringgadani. Putranya diberi
nama jaka Tutuka. Kalau ada keperluan, para Pandawa baru akan dipanggil. Dewi
Arimbi merestuinya. Sang bagus segera dibawa pulang ke kerajaannya. Raden
tutuka ketika masih kecil senang berkumpul dengan buta-buta (raksasa) makanya
dia bisa terbang karena buta Pringgadani itu besar maupun kecil semua bisa
terbang. Lagi pula sang bagus itu lincah sekali kalau perang pada waktu malam,
kekuatannya menakutkan melebihi semua Raksasa, juga memiliki taring. Kalau
sudah mau menggigit musuhnya tidak tanggung-tanggung, pasti sampai mati.
Siang dan malam selalu diajari oleh paman-pamannya, duajari bermacam-macam
aji-jayakawijayan, dinamakan disiram dengan banyu gege.
Setelah hampir perang Baratayuda sang bagus dipanggil. Waktu itu
umutnya baru 15 tahun tapi badannya sudah kelihatan besar seperti bapaknya, jadi
bisa mengimbangi musuh. Akhirnya, ketika sang bagus berhadapan dengan Sang
Hadipati Karna, ia lalu tiwas terkena senjata dibya kyai Kuntadruwasa. Wayang
buta kecil yang menggambarkan jaka Tutuka tersebut setelah jaman Kartasura,
atas ijin dalem sinuhun Kanjeng Susuhunan, wayang Jaka Tutuka tersebut lalu
diganti, disesuaikan dengan bentuk Sang Harya Sena, jadi supaya bisa mirip
dengan si bapak, tapi agak kecil sedikit. Sebagai polanya mengambil wayang
Antareja, lalu ditambahi pakaiannya yaitu ditambah dengan praba, wanda tatit,
karena kalau perang gerakannya lincah dan diberi nama Gatutkaca, artinya tempat
keteguhan, sejak lahir sudah tidak mempan tapak paluning pandhe sisaning
gurenda atau kebal.
Wayang Gatutkaca lalu bisa berbentuk bagus dan bregas dilihat, serta
lengkap badannya seperti ratu. Makanya dalam satu kotak kelihatan paling bregas,
seperti wayang Baladewa, genap badan dan tatahannya. Wayang Gatutkaca itu
diwarnai hitam bagus, apa lagi kalau digembleng, badannya diwarnai prada emas
akan semakin bagus. Sedangkan wayang dewa-dewa diberi pakaian panjag
memakai keris, kakinya memakai sepatu. Hanya Batara Guru dan Batari Durga
yang tidak boleh diganti karena merupakan wayang candra sangkala memet, kalau
sampai ditambahi atau dikurangi arti tahunnya akan berubah. Begitu lah yang
menjadi keinginan dalem Ingkang sinuhun Kanjeng Susuhunan di Kartasura
ketika tahun candra 1621)
D. Wayang Punakawan
Ketika jaman Mataram yang menjadi ratu adalah Hingkang sinuhun
Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyakrawati yang wafat di Krapyak. Beliau punya
keinginan untuk membuat bentuk wayang purwa ditambah dengan wayang
dagelan untuk melengkapi, agar para dalang kalau sedang memainkan wayang
tidak kekurangan lalucon (banyolan). Yang pertama adalah adanya Semar,
Bagong, dan cantrik pawongan (emban).
Sedangkan yang dibuat baru sebagai tambahan, yaitu berwujud wayang:
1. Petruk
2. Gareng
3. Cenguris
4. Togog
5. Sarawita
6. Limbuk
7. Cangik
8. Dewi Clekutana
9. Retna Juwita
10. Parekan Buta
11. Cantrik Janaloka
12. Semar Gareng, Petruk berpakaian perempuan
13. Pawongan gelung melintang
14. Gareng, Petruk, Bagong, memakai cara ratu.
15. Kethek kacangan, ketika tahun candra 1552.
Wayang Bagong
Bagong itu terjadi dari bayangan Batara Ismaya, yaitu Ywang Ismaya
ketika diperintahkan oleh sang rama Sanghyang Tunggal untuk jadi pengurus
keturunan Resi Kanumanasa sampai Sang Harjuna. Dia lalu diberi teman yang
diciptakan dari bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud
bulat gemuk matanya lebar, mulut juga lebar, bibirnya menggantung memakai
gombak. Bisa menjadi wujud seperti itu memang sudah kehendak Ywang Kang
Murbeng Pasthi, sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru).
Bagong itu artinya dengan gombak, ketika jaman dahulu, setiap bocah
kecil banyak yang digombak supaya awet muda seperti bocah kecil. Begitu arti
diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata bagong atau gombak.
Wayang Semar
Semar itu dewa yang berbadan manusia, berbentuk semamar
membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol badannya hitam
gemuk bulat, tidak muda tidak tua, di kepalanya ada kuncung jadi kelihatan
seperti bocah, makanya dia punya ciri seebntar-sebentar pasti menangis, senang
menangis, susah juga menangis karena selamanya tidak tahu senang dan tidak
tahu susah. Jadi sudah tidak ada bedanya. Warnanya hitam berarti tetap tidak
berubah (langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau
memperlihatkan diri di bumi hanya jadi tuwagana, yaitu jadi pamong keturunan
Sang Manik Maya.
Munculnya Semar di bumi itu ketika jaman raden Kaniyasa atau Resi
Kanumanasa, pandita yang ada di Saptarga. Pada waktu itu, di sana ada orang
cebol yang sedang berlari karena dikejar dua ekor macan akan memangsanya,
orang tersebut bernama Semarasanta, lalu ditolong oleh sang resi. Macan diruwat
dengan senjata lalu berubah menjadi dua bidadari, yang tua bernama Dewi
Kanastren jadi jodoh Semarasanta, sedangkan yang muda bernama Dewi
Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu nyantrik pada sang
resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan Semarasanta itu lalu jadi
pamong keturunan sang resi Kanumayasa, hanya sampai para Pandawa Raden
Harjuna. Sedangkan kalau ada putra raden Janaka dan diikuti oleh Semar itu
hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan pakeliran.
Kalau menurut sejarah, para satria yang boleh dirawat oleh Semar itu
hanya satria yang kuat tapanya, sering didatangi para Dewa serta yang besar
baktinya pada Dewa dan sering dimintai bantuan kalau para dewa mendapat
keruwetan, didatangi musuh dari mercapada dan merusak Kayangan, yaitu hanya
para satria yang kuat tapanya tersebut yang bisa menolong para Dewa.
Makanya dalam pedalangan, wayang yang boleh memakai gara-gara itu
hanya Resi Kanumayasa sampai Sang Harjuna, semua wayang berwujud
bokongan. Kalau sudah selesai perang kembang suluknya sendon Abimanyon,
sedangkan cakepan apalan dengan Elayana. Kalau para Bambangan putra siapa
saja, itu tidak boleh dengan gara-gara karena sudah kurang kuat tapannya, kalau
sudah selesai perang kembang suluknya patet jengking sedangkan cakepan apalan
dengan Tunjung bang trate. Jadi kalau begitu, seharuasnya ada dagelan sendiri
untuk teman Bambangan putra Sang Harjuna tadi. Kalau wayang gedog cerita
Panji sudah ada sendiri-sendiri, kalau Panji tua, yaitu raden Hinokartapati, yang
jadi temannya adalah dagelan Bancak dan Doyok. Sedangkan kalau Panji muda,
yaitu raden Sinombredapa, yang jadi temannya dagelan Sebul dan Palet.
Gelar Semar di kayangan:
1. Batara Ismaya
2. Batara Tejamaya
3. Batara Jagadwungku
4. Sanghyang Jatiwasesa
5. Sanghyang Suryakanta
Dalam pertapaan:
1. Kaki Janggan Semarasanta
2. Kaki Badranaya
3. Kaki Nayantaka
Dalam kraton atau di kasatrian:
1. Kyai Lurah Semar
2. Kyai Lurah Badranaya
Di Klampisireng:
Disebut Kyai Dudha Manangmunung
Ywang Wisesa memberikan manik astagina pada Danghyang Semarasanta, kang
memiliki delapan kesaktian:
1. Tidak merasa lapar
2. Tidak merasa ngantuk
3. Tidak merasa jatuh cinta
4. Tidak merasa sedih
5. Tidak merasa lelah
6. Tidak merasa sakit
7. Tidak merasa panas
8. Tidak merasa dingin
Manik astagina disuruh mengikatkan di rambut yang ada di kuncung.
Wejangan Sanghyang Tunggal
Nantinya akan ada 3 macam orang seperti dulu yaitu:
1. Wong biksu, artinya tanpa pusar dan tanpa ubun-ubun
2. Wong Bibima, artinya satu hati tanpa ketinggalan (Werkudara)
3. Wong Tibawarna, artinya orang yang tidak mempan senjata, yaitu selamat
dari senjata tajam, gecul marucul kuwarisan, sluman slumun slamet.
Ketahuilah itu semua sebenarnya adalah wujud diriku, itu hanya jika aku
bertemu denganmu, engkau aku beri ilham sebagai pertanda paesan ini,
perhatikanlah sela antara alisku. Dan lagi pesanku padamu, kalau ada orang yang
ubun-ubunanya bercahaya seperti cahaya matahari dan bulan, itulah wujud
kakakmu si Ismaya, meskipun orang tadi jelek, janganlah engkau ragu, semua
keinginannya laksanakanlah, karena keinginan itu pasti sudah diketahui.
E. Wayang dan Kehidupan Manusia
Wayang itu sangat disukai orang, peribahasanya sampai ambalung
sungsum, apa lagi yang merasa memiliki seperti bangsa kita sendiri di Indonesia.
Kalau wayang bangsa Tionghoa bernama wayang Potehi, kalau bangsa Eropa ada
wayang Boneka dinamakan Popenkas. Jadi kalau begitu bangsa-bangsa itu
memiliki wayang sendiri-sendiri.
Wayang itu merupakan buatan manusia, sesuai dengan keadaan yang
membuat sendiri-sendiri sebagai gambaran kehidupan manusia atau leluhurnya,
gambar yang menjelaskan adanya tingkatan kehidupan yaitu nista, madya, utama,
agar bisa menjadi contoh yang baik. Jadi wayang itu digunakan untuk memberi
gambaran dalam menerapkan bermacam-macam lakon tadi, karena lakon manusia
itu memang bermacam-macam. Intinya untuk memperjelas adanya dasar waton
nista madya utama agar bisa terang, supaya jangan sampai keliru
menempatkannya, tempat kenistaan bisa digambarkan wujudnya, juga untuk
menunjukkan dan memperjelas tentang kebaikan, karena kalau keburukan tidak
ditunjukkan, hanya disimpan saja jadi tidak bisa seimbang adanya buruk dan baik,
yaitu nistha madya utama. Semua itu sudah tergelar atas kehendak sang Maha
kuasa sebagai penyeimbang budi, pikiran, supaya bisa mengerti keadaan yang
sebenarnya. Mana yang harus dipilih dan yang bakal dilakoni itu diserahkan pada
yang bakal menjalani.
Untuk yang akan menjalani, pasti sebisanya memilih yang baik, yaitu
utama, kalau tidak bisa samadya, pilihan kanistan sebisan mungkin dihindari.
Manusia pada umumnya ingin pada kebaikan, maka kisah wayang itu banyak
yang bisa masuk sampai ke hati yang terdalam.
Pekerjaan praktek (teknik), serta pengetahuan pedalangan yang digunakan
utnuk memperjelas gambaran lakon tersebut yang baku adalah: satu, janturan
(cerita), dua, gendhing kakawin, tiga, banyol (lelucon), empat, sabetan. Meskipun
hanya empat tapi cakupannya sangat luas. Seperti janturan dalam sebuah cerita itu
sudah mencakup parama basa serta hawi crita, mengku basa, serta cerita para
leluhur itu jadi kebudayaan bangsa yang juga sangat penting. Kalau bisa jelas dan
tepat dalam menerapkannya, pasti bisa menghidupkan rasa kemuliaan. Makanya
dalam wayang, kata-kata dan isi itu lebih penting, kalau kata-katanya kosong
tanpa isi rasa atau keliru dalam menerapkan maka akan kurang baik.
1. Menceritakan itu intinya juga dalam bahasa, meskipun bisa dengan
menhafalkan kata-kata dan kalimat semua cerita, kalau mengerti unggahungguh
dalam kata pasti akan lebih meresap dalam.
2. Gending kekawin itu intinya adalah lagu suara, tembang atau gendeng,
sedangkan gendhing itu perpaduan suara gamelan, untuk menggambarkan
keadaan lahir batin, serta keadaan kebudayaan. Yang lebih penting adalah
untuk merekatkan tali persaudaraan, jadi wayang itu hanya jadi alat untuk
menghidupkan pakeliran. Tapi sebenarnya gendhing, gendheng itu memang
memiliki nilai kebudayaan sendiri dan perlu dilestarikan.
3. Banyolan itu intinya untuk menyenangkan hati agar gembira, jangan
sampai tegagn atau susah. Jangan sampai hanya senang-senang, atau susah
saja. Kalau keadaan tanpa banyolan, kesenangan, hanya tegang melulu
tentu akan cepat putus asa, tidak kuat menjalani kehidupan. Jadi banyolan
itu bukan hanya lelucon tanpa arti, intinya adalah guyonan untuk
menyenangkan hati. Makanya wayang alusan, kasaran, atau dalam lakon
apa saja bisa membuat tertawa, asal bisa menerapkan sopan santun.
Wayang dagelan dibuat hanya untuk melengkapi aneka warna wujud
wayang lalu diselaraskan dengan wayang yang lain, hanya untuk banyolan.
4. Sabetan itu kelincahan memainkan wayang, supaya kelihatan asri, edi, peni,
bisa menghidupkan wayang seperti benar-benar hidup. Jadi wayang serta
kawruh pedalangan itu berisi beberapa kebudayaan. Yang lebih penting,
perlu sekali dirawat dan dilestarikan.
Janggan Semarasanta
Batara Ismaya berputra Batara Wungku atau Wungkuam (Bongkokan),
Batara Wungkuam berputra bentuk manusia cebol gemuk pendek hitam kulitnya
dinamakan Semarasanta, yang tinggal di Padepokan Pujangkara, Desa Padukuhan
Ki Semarasanta tersebut, manusia cebol hitam gemuk pendek yang raganya sering
dimasuki eyangnya, Batara Ismaya, batara Semar, yaitu Dewa yang merasuk
dalam raga orang yang bernama Semarasanta tersebut untuk menjadi pamong trah
resi Kanumanasa sampai raden Harjuna. Jadi sampai enam keturunan sampai
udeg-udeg dari sang resi Kanumanasa. Orang bernama Semarasanta itu lalu
diperintahkan ngenger (ikut) nyantrik di Saptarga lalu diberi sebutan Janggan dan
bernama Janggan Semarasanta. Kalau sedang marah pada para dewa lalu dirasuki
oleh eyangnya, Batara Semar (Ismaya). Makanya wayang yang menggambarkan
Batara Ismaya atau Semar itu tidak ada, yang kelihatan di Bumi itu hanya badan
wadag manusia bernama Janggan Semarasanta tersebut. Setelah lama lalu dinamai
Semar, Semarasanta lalu hilang tidak pernah diceritakan. Manusia yang berbentuk
cebol hitam gemuk pendek tersebut lalu katelah jadi disebut Kyai lurah Semar.
Ismaya itu artinya cahaya hitam, makanya dalam pewayangan, wayang
Semar itu kebanyakan badannya dicat hitam, itu sudah cocok dengan dongengan,
kalau Ismaya itu artinya cahaya hitam. Kalau ada wayang Semar badannya tidak
hitam itu meskipun bagaimana tetap kurang sesuai dengan keadaan Ismaya
tersebut.
Ketika nyantrik di Saptarga, yang jadi teman Semarasanta adalah Putut
Supawala, Putut Supawala itu berwujud kera putih seperti Raden Senggana
(Hanoman), keduanya sangat dekat dengan Sang Resi dan diberi tugas menjaga
keselamatan di Pertapaan.
Nama-nama Gajah
1. Brajamuka = gajah untuk perang
2. Gajaksa = gajah besar
3. Gajah Hendra = ratu gajah
4. Gajah pati = ratu gajah
5. Gajah Hendriya = gajah ngamuk
6. Rajamuka = gajah yang ditunggangi ratu
7. Hesti = gajah yang ditunggangi ratu
8. Hanjana = gajah yang ditunggangi ratu
9. Diponggo = gajah yang ditunggangi ratu
10. Dirada = gajah yang ditunggangi ratu
11. Dwipo = gajah yang ditunggangi ratu
12. Dwiratyana = gajah yang ditunggangi ratu
13. Helawana = gajah yang ditunggangi ratu
14. Samaja = gajah yang ditunggangi ratu
15. Liman = gajah yang ditunggangi ratu
16. Matengga = gajah yang ditunggangi ratu
17. Gatamuka = gajah yang ditunggangi ratu
Nama-nama Macan
1. Kiswari atau Kesari = macan
2. Durma atau Durga = macan
3. Saradula atau Sardula = macan
4. Salimba atau Harimau = macan
5. Singa atau Singha = macan
6. Bragalba atau Pragalba = macan
7. Mregapati atau Mregadipa = macan
8. Mong atau monga = macan
9. Macan mengaum bernama Singanabda
10. Anak Macan bernama Wikridita
11. Ratu macan bernama Singapati atau Singantaka
12. Macan yang terjadi dari manusia bernama Narasinga
13. Harimba = macan
14. Harima atau harimong atau Rimong artinya macan
Nama-nama Ular
1. Antaboga = dewa ular
2. Nagabendana = pembesar ular
3. Nagaraja = ratu ular
4. Nagapati Ratu ular
5. Nagabasuki = ratu ula
6. Nagabanda = ular besar
7. Bujangga = ular besar
8. Hardiwalika = ular besar
9. Anta = ular besar
10. Naga = ular besar
11. Taksaka = ular
12. Sarpa = ular
13. Sawer = ular
14. Haliman = ular
Nama Kuda
1. Undakan
2. Haswa
3. Kuda
4. Kudaka
5. Kalengki
6. Kapal
7. Wajik
8. Turangga
9. Gedong
10. Swaninda
11. Prasita
12. Kuda
Nama Babi
1. Andapan
2. Durgangsa
3. Uweg
4. Wraha
5. Demalung
6. Jantaka
7. Sungkara
8. Jubris
9. Wijung
10. Wegang
11. Bagkwi
Nama Banteng
1. Handaka
2. Angun-angun
3. Sarawa
4. Jawida
5. Gurisa
6. Gawaksa
7. Gawindra
8. Grendaka
Nama Anjing
1. Segawon
2. Anjing
3. Wreka
4. Bugel
5. Srenggala
6. Cika
7. Kuwaka
Nama kuda
1. Undakan = tunggangan
2. Gedog = gegedug, sesama hewan yang paling unggul
3. Swa = kuda kinasih, yaitu tunggangan
4. Kapal = lanteh bisa mengerti pada ajaran
5. Kuda = bisa berputar
6. Jaran = unjaran, dalam gedog sendirian tanpa teman
7. Turangga, tuhurangga, tura artinya halus, angga badan, artinya lemah
badanya.
8. Wajik artinya wijik.
Nama gajah
1. Gajah = banyak tingkah, tempatnya dalam hutan
2. Hasti (Hesti) = kalau ditunggangi
3. Dirada = kalau sedang marah atau gajah meta
4. Dwirada = memiliki taring dua, dwi dua, radda gigi yaitu memiliki dua
gading.
5. Waniti = kalau diberi pakaian
6. Matengga = kalau sedang bercengkrama
7. Samaja = kalau dibawa perang
8. Gajamuka = gajah mengamuk, atau gajah kalau ditunggangi oleh buta,
atau gajah pengarep
9. Brajamuka = gajah mengamuk dengan senjata, atau kalau bertarung
10. Gatamuka = kalau akan kawin karena gantha kelihatan besar.
11. Liman = Seperti memiliki lima kaki, karena belalainya bisa menyentuh
tanah
Nama babi
1. Babi = warnanya hitam
2. Waraha = saronggot, babi itu senjatanya adalah saronggot, yaitu dua buah
taring
3. Sungkara = senangnya merapat, sung artinya merapat, kara artinya
membuat, kalau sudah berani hanya modal tekat.
4. Genjik = babi kecil, cara berjalannya tangkas karena badannya belum
besar jadi masih serba trampil.
Nama macan
1. Singa = bisa mengaong
2. Singha = bisa mengaong
3. Mong = bisa mengaong
4. Jagur = macan yang sedang mendekam
5. Margapati = rinaket ratu
6. Macan, yang benar matyan = mancia, yaitu mengaum
7. Keswari = serba bulu
8. Harimong = meramong, warnanya merah dengan loreng
9. Saradula = semuanya tajam, seperti gigi dan siungnya, lidahnya seperti
parut, cakar kukunya lancip.
Nama banteng
1. Banteng = benting
2. Gardaka = kaya napsu
3. Handaka = badannya seperti sapi
4. Angun-angun = banteng yang kuat
5. Sikandana = banteng jantan
6. Sikandini = banteng betina
7. Griksa = getapan, karena sangat berani tanpa rasa takut, kalau marah harus
mengamuk.
8. Garaksa = menakutkan, setiap melihat segala sesuatu harus mengejar dan
mengamuk, apa lagi kalau terluka akan keluar keberaniannya sampai mati.
Nama bedati (Gerobak)
Untuk membawa barang atau tunggangan pasukan yang membawa alat perang
dan makanan prajurit.
1. Bedati = gerobak yang ditarik sapi betina
2. Senang = gerobak yang ditarik sapi jantan
3. Manggra = gerobak yang ditarik Banteng
4. Salamuka = gerobak yang ditarik kerbau jantan dan betina
5. Hastapada = gerobak yang ditarik kerbau jantan
6. Sambira = gerobak yang ditarik banteng bersuara
7. Westi = gerobak yang ditarik banteng betina (jawa)
8. Camakantu = gerobak yang ditarik orang laki-laki dan wanita
9. Dudula = gerobak kalau ditarik Kuda betina
10. Sisikunwaninda = gerobak yang ditarik dua ekor kuda
11. Sisirat ancak anda = gerobak yang ditarik empat kuda
12. Gegendik = gerobak yang ditarik kambing besar
13. Sekutuk = gerobak yang ditarik anjing besar
14. Calita = gerobak yang ditarik kijang ujung
15. Salikna = gerobak yang ditarik kuda tutul
16. Gabrata = gerobak yang ditarik macan, jadi tunggangan buta
17. Gotaka = gerobak yang diberi gerbong, biasanya ditarik gajah karena lebih
berat.
Nama sungai
1. Banawi (Banawe) = kumpulan air
2. Bangawan, yang benar banawan = jalan air, Ban = air, awan = jalan
3. Kali = dialiri, dialiri air
4. Lepen, yang benar lepwen, lep = aliran, wen = tempat air
5. Ci artinya tempat bersuci
6. Narmada, yang benar naharmodho = berisi air
Nama bunga
1. sekar = yang sedang mekar
2. kembang = kalau sedang dihisap madunya oleh kumbang
3. kusuma = kalau sedang harum baunya
4. padma = bunga yang sedang harum baunya masih berisi madu
5. puspa = dirangkai, diatur ditarik-tarik dan diselang-seling tempatnya.
6. sari = serba baik, yaitu ketika sedang mekar dan berbau harum
7. puspita = bunga yang sedang berwarna kuning, yaitu ketika akan mekar
Nama daun
1. Ron = untuk kerimbunan pohonnya
2. rodohon = daun yang subur
3. Godhong = sebagai peneduh, yaitu peneduh pada pohonnya
4. patra = sahantara, daun jadi tanda hidupnya pohon, pohonnya gemuk dan
kurus dilihat dari daunnya
5. ujungan, itu kata krama desa, ingin membahasakan ujo (hijau) dari wujud
daun yang hijau.
Nama tunjung bunga teratai
1. pakaja = kalau bunganya mekar dalam air
2. kumuda = kalau bunganya mekar dalam air
3. kamuda = kalau kehabisan air
4. terate = kalau mekar di balekambang
5. saroja = kalau berada di daratan
6. sadengan = kalau tumbuh di batu
7. tunjung = kalau sudah berwujud pohonnya
8. midemah = kalau bunganya mekar pada waktu malam
9. singli = kalau bunganya akan rontok
10. saroparuka = kalau rontok, gugur
11. sarasidiya = kalau bunganya medem
Nama Hewan yang dipakai sebagai Nama Para Petinggi di Jaman Kuna
1. Matswapati = ratu ikan
2. Basudewa = tokek unggul atau Bidho linuwih
3. Bisawarna = tokek
4. Narasinga = orang berbadan macan
5. Jayadimurti = kesaktian cicak
6. Handakawulung = banteng liar
7. Hayamwuruk = kokok ayam
8. Hundhakan Sastramiruda = kuda melompat menghindari panah
9. Kidangwalakas = kijang yang larinya cepat
10. Kebokanigara = kembang hewan aduan
11. Kebokenanga = kembang hewan aduan
12. Kebomenggah = kerbau kanggeg
13. Sawunggaling = jago emas, atau jago patohan
14. Siungwanara = taring kera
15. Singaprana = watak macan
16. Lembuhamiluhur = yang asalnya luhur
17. Lembuhamijaya = hewan yang kuat
18. Lembumangarang = hewan yang membuat tertarik
19. Lembugelap = pasemon untuk putra yang dilupakan
20. Kudapanolih = kuda yang patut ditonton
21. Maesatandreman = kerbau palen
22. Mundingsari = kembang kerbau
23. Mundingwangi = kembang kerbau
24. Gajahmada = gelar gajah
25. Gatayu = tempatnya kabaikan
26. Gagakbahni = berbadan geni
27. Gagakpranala = panas hati
28. Gagakpranawa = terang hati
29. Banyakwide = banyak (angsa) dikurung
30. Bondankejawan = berbadan kadal
31. Bankudasari = kerbau pelen
32. Kijangwiracapa = kijang dipanah gandewa bisa lolos
33. Kudalaleyan = kuda = kuda, laleyan = pagar bata
F. Sama, Beda, Dana, Denda
1. Sama, maksudnya: kalau memberi sesuatu dalam suatu acara jangan
sampai menjadikan iri hati
2. Beda, maksudnya: kalau memerintah pasukannya, yang senang dengan
cara keras jangan dengan cara halus, sedangkan yang senang cara halus
jangan dengan cara kasar, nanti bisa mengecewakan.
3. Dana, maksudnya: kalau ada pasukan yang baik berilah penghargaan
supaya mempengaruhi teman-temannya
4. Denda, maksudnya: kalau menjatuhkan hukuman harus adil, meskipun
sentana, warga, kalau salah harus dihukum supaya orang lain jadi takut.
Ambeg patih: Guna, Kaya, Sura
1. Guna = kaya ilmu
2. Kaya = bisa mengeluarkan hasil, memperluas jajahan
3. Sura = berani
Tentang kaluwihan (kelebihan)
1. Kaluwihan, lebih dari rata-rata, berada di depan, bisa mancala putra
mancala putri.
2. Kasekten, sakti mandraguna
3. Kasantika, olah kekuatan badan
4. Kasudiran, berani tiada tara
5. Kaprawiran, menjalankan tugas prajurit, menang dan utama
6. Kadigdayan, lebih unggul dari sesamanya, orang digdaya yang tidak
mempan senjata tapak paluning pandhe sisaning gurenda.
7. Kanuragan, honorogro (hanaraga) seperti satria Dananjaya
8. Kasunyatan, kuat bertapa seperti tapa pandita
9. Kasempurnan, ilmu yang tinggi, melihat hidup mati.
G. Pulung, Wahyu dan Andaru
Pulung, warnanya biru bersinar hijau, terbuat dari campuran cahaya manikmanik
emas dan tembaga. Pulung itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang
dijatuhi adalah orang yang welas asih. Untuk menjadi welas asih harus dilakukan
dengan tapabrata, yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya pulung. Jika
memilikinya akan disenangi orang banyak.
Wahyu, warnanya putih bersinar hijau, dari campuran manik-manik emas
dan salaka. Wahyu itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang dicari adalah
orang yang Rila, Legawa, Temen, Narima.
Karilan tariman, legawan, katemenan itu harus dilakukan dengan tapabrata,
yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya wahyu. Jika memilikinya akan
disenangi orang banyak.
Andaru, Warnanya kuning bersinar amarakata, terjadi dari campuran
maning-manik emas, tembaga dan timah. Andaru akan membuat kehidupan, tapi
yang dicari adalah bangsa yang amardi brana (kekayaan).
Datangnya cipta marta, Mardi brana, akan terjad dengan tapabrata, yang
seperti itu akan mempercepat jatuhnya Andaru. Jika memilikinya akan disenangi
orang banyak.
Teluhbraja, warnanya merah bersinar biru, terjadi dari campuran cahaya
besi, timah, tembaga dan belerang. Teluhbraja akan membuat kehidupan, tetapi
yang diikuti adalah bangsa yang dengki, jahil, iri. Untuk mendapatkannya dengan
tapabrata. Hal tersebut akan mempercepat jatuhnya Teluhbraja. Jika memilikinya
akan dimusuhi orang banyak.
Guntur, warnanya ungu sirat dadu, terjadi dari campuran cahaya besi,
tembaga, garam dan belerang. Guntur akan jadi daya kehidupan tapi yang diikuti
adalah yang angkaramurka. Untuk mempercepat jatuhnya dengan cara tapabrata.
Yang memiliki akan dibenci oleh sesamanya.
Kelima bab tersebut di atas, kalau dalam bahasa arab dinamakan Darajat,
sedangkan kalau dalam bahasa Belanda dinamakan Meteor. Wahyu memiliki
watak dan kadudukan sendiri-sendiri serta memiliki daya kekuatan sendiri-sendiri,
semua wahyu tersebut, wujudnya hanya berupa warna cahaya bersinar, sedangkan
nama wahyu sesuai dengan warna cahaya kang bersinar tersebut.
Agar cepat menurunkan wahyu harus disertai dengan tapabrata. Tapi
semua wahyu tersebut memiliki daya kekuatan dan watak sendiri-sendiri, jadi
kalau daya watak tersebut tidak sesuai tidak bisa jatuh pada orang itu, jadi wahyu
tersebut akan emncari dimana bisa manunggal dan selaras.
Jadi kalau ada manusia yang memiliki dasar watak kelakuan baik serta
budinya baik, tambah lagi ia adalah orang yang Rila, Legawa, Temen, Anarima,
dan menjalankan tapabrata, pasti segera menerima wahyu karena sudah sesuai
dengan watak wahyu tersebut, wahyunya lalu ikut karena merasa cocok. Begitu
seterusnya, menurut dasar watak si wahyu tersebut. Jadi sebenarnya sama-sama
saling mencari, mencari yang sama watak dan dasarnya.
Mungkin cerita di bawah ini bisa dijadikan contoh, bisa untuk
membedakan mana yang dinamakan derajat baik dan yang buruk, karena baik dan
buruk itu memiliki wahyu sendiri-sendiri. Makanya keadaan dunia ini, kehidupan
manusia tidak ada yang tentram, wahyu berjalan mengelilingi bumi, entah dimana
jatuhnya mencari orang yang sama wataknya. Itulah sebabnya paperangan di
dunia ini berganti-ganti tempat, berebut tempat dan pangan, menuruti angkara
murka wahyu Guntur, yang menyusup pada manusia yang memiliki dasar watak
yang cocok dan sesuai dengan si wahyu Guntur tersebut.
Salah satu wahyu tersebut kalau sudah menyatu pada manusia, terlihat
hanya melalui kata-kata, siapa orangnya yang sudah dijatuhi wahyu semua katakatanya
pasti dituruti orang lain.
Pengetahuan tentang wahyu tersebut agar bisa digunakan sebagai contoh, agar
bisa melihat perbedaan watak-watak si wahyu tersebut, bahwa mereka memiliki
daya sendiri-sendiri serta bisa digunakan sebagai pedoman kalau akan membuat
atau mengarang lakon yang berisi cerita tentang wahyu. Misalnya yang sudah ada
saja, yaitu lakon Wahyu Cakraningrat, itu artinya wahyu mengelilingi jagad,
Cakra artinya bulat, rat artinya jagad, jadi isi cerita tentang mengelilingi jagad,
yaitu jaman purwa yang akan berganti dengan jaman madya. Sebenarnya cerita itu
berisi tentang penitisan Batara Cakraningrat pada raden Ongkawijaya serta Batari
Widayat pada batari Untari, lalu memiliki putra Raden Parikesit. Jadi sebenarnya
adalah tentang penitisan batara dan batari tersebut, lalu dinamai lakon Wahyu
Cakraningrat atau Wahyu Widayat.
Ada lagi lakon yang dinamakan Wahyu Makutarama yaitu ajaran Prabu Rama
pada Raden Wibisana tentang kewajiban-kewajiban menjadi ratu, harus memiliki
watak delapan perkara yang dinamakan wulang Hastabrata, hasta artinya
delapan, brata artinya laku, jadi harus bisa melakukan watak delapan perkara
yang dinamakan laku Hastabrata tersebut. Dinamakan wahyu, sebenarnya karena
ketika raden Harjuna berada dalam hutan Kutarunggu tapabrata, lalu menerima
wangsit dari dewa, kalau ia akan menerima ajaran yang dipakai Sri Batara Rama,
yang dinamakan Hastabrata atau ajaran yang menjadi makuta Sri Batara Rama
ketika menjadi ratu nata di negara Ngayodyapala, sedangkan yang kuat untuk
menerima ajaran itu hanya Sang Parta.
Makanya ketika sang Hanoman terkena siku Sang Maharasi dan membuat
susah Sang Hadipati Karna, lalu diperintahkan oleh sang Maharsi supaya
menemui sang tapa yang ada di tengah hutan Kutarunggu untuk datang ke
pertapaan. Dialah satria yang bisa menghilangkan kegelapan hati Sang Prabu
Karna. Sang Harjuna lalu digendong sang Hanoman, dibawa terbang ke atas
menuju pertapaan Swelagiri. Setelah diberi wejangan oleh sang Maharsi lalu
diberi senjata kuntadruwasa milik Sang Karna. Setelah menerima senjata, senjata
itu akan dikembalikan pada Sang Karna. Jadi keinginan Sang Harjuna itu hanya
ingin memberi pertolongan pada orang yang sedang kesusahan hatinya.
Ada lagi lakon tentang wahyu yang agak mirip dengan keadaan tentang
wahyu, yaitu lakon lahirnya Abimanyu. Ketika itu sang Harya Bima (Werkudara)
sedang bertapa meminta pada Dewa supaya diberi wahyu keraton. Setelah sudah
waktunya maka doa itu diterima Dewa, pada waktu malam ketika sudah sepi
orang, ada sebuah warna cahya bersinar dari langit berbentuk bulat besarnya
seperti buah waluh bokor, cahayanya terang lalu jatuh di depan Sang Harya Bima.
Ketika ditubruk ternyata cahsya tersebut meloncat lalu berkari. Ketika dikejar
cahaya yang bersinar tersebut lari menuju kasatrian Madukara. Ketika itu, sang
dewi Wara Sumbadra sedang hamil tua, sudah saatnya melahirkan. Cahaya yang
melompat itu jatuh di kamar Sang Dewi Wara Sembadra, seketika itu jabang bayi
lalu lahir laki-laki. Ketika Sang Bima sampai di dekat rumah itu ia kaget
mendengar suara bayi lahir, Sang Bima merasa kecewa. Singkat kata, Sang Bima
lalu menggugat sang Harjuna. Sri Kresna lalu memberi tahu bahwa wahyu kraton
jatuh pada si jabang bayi, sedangkan yang bisa melihat hanya sang Harya Bima
sendiri, yaitu sebagai saksinya. Jabang bayi lalu diambil putra oleh Sang Bima
dan diberi nama Abimanyu, yaitu mengambil dari nama Sang Bima sedikit,
karena yang bisa melihat wahyu danbisa segera turun, kang melakukan tapabrata
adalah Sang Harya Bima. Jabang bayi lalu digendong Sang Bima, dipeluk
langsung diam tidak menangis. Itu yang dinmakan lakon Bima kopek, lakon itu
tadi banyak miripnya dengan bab wahyu tersebut. Abimanyu, Abi artinya tidak
memiliki rasa takut, Manyu artinya galak, jadi maksudnya adalah orang yang
galak tanpa takut.
Jadi kalau ada dalang yang membuat lakon dengan nama cerita wahyu,
lalu diwujudkan dengan bentuk barang atau hewan atau wujud manusia, itu salah
karena yang dinamakan wahyu itu hanya berupa warna cahaya bersinar, jadi tidak
bisa dipegang dengan tangan, lagi pula tidak bisa untuk rebutan.
Orang yang menonton wayang ada yang menangis serta prihatin hatinya
meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanya bentuk kulit yang diukir
menjadi bentuk manusia, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton wayang
hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba nikmat, lalu
tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang seperti
siluman dan pergi seperti bermain sulap saja.
Tindakan manusia yang seperti itu bisa dimisalkan seperti orang yang
menonton wayang. Sudah tahu kalau wayang itu kulit yang dipahat dan diukir
seperti manusia dan dijalankan oleh dalang, ada yang berkata-kata ada yang
tertawa senang dan ada yang menangis, gerakannya menurut pada keinginan Ki
dalang. Meskipun begitu tetap dianggap sebagai kanyatan. Begitulah manusia
yang masih terlena oleh keinginan-keinginan dunia. Sebenarnya yang tampak di
jagad ini bisa dinamakan siluman.
Prabu Basumurti berputra Raden Basusena, lalu dijadikan ratu di Gajahoya
diberi nama prabu Hastimurti atau prabu Jatimurti. ‘Desa Gajahoya itu asalnya
dulu adalah bekas eyangnya kanjeng ibu ketika akan dinikahi oleh gajah putih,
lalu meminta untuk dibuatkan rumah kencana sembilan buah. Gajah putih
menyanggupinya, tapi sang eyang lari dan bertemu dengan sang eyang dan
dijadikn istri, lalu memiliki putra dirimu. Jadi engkau ini yang mewarisinya.’
Prabu Hastimurti (Jatimurti) berputra raden Wasanta. Setelah menjadi ratu
bergelar Prabu Pratipa atau Prabu Ewamurti, negara Gajahoya diganti namanya
menjadi negara Astina atau Hastinapura, begitulah awal mulanya ada negara
bernama Astina.
Hasti, artinya gajah, julukan salah seorang ratu keturunan Barata yaitu
Prabu Hasti yang membuat negara Hastinapura.
H. Awal Mula Adanya Wayang Kulit
Tentang awal mula adanya wayang kulit sebenarnya ketika jaman Prabu
Jayabaya menjadi ratu di Kediri, sudah ditatah berwujud wayang jadi bukan pada
jaman Demak. Para wali membuat wayang berbentuk-rupa warnanya, sebenarnya
ada yang ditiru sebagai polanya karena ada yang dijadikan dasar sebagai saksi. Itu
menurut serat Harjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa di Mamenang Kediri, ada
kalimat yang bunyinya seperti tertulis di bawah ini:
Tiyang aningali ringgit punika lajeng wonten ingkang nangis,
sumlengeren sarta prihatos ing manahipun, sanajan sampun sumerep eyn ingkang
tinonton wau wantahipun namung wacucal ingukir tinatah kadapur tiyang saged
solah bawa sarta wicanten, ingkang ningali ringgit wau upaminipun namung
kados dene tiyang ingkang angangsa-angsa dhateng kadonyan ingkang sarwa
kanikmatan, temahan ing sakala kataliweng ing manah, mboten sumerep manawi
punika wayang ingkang wedalipun kados siluman, utawi lugunipun namung
kadoas sulapan kemawon. Sejatosipun wayang punika mobah mosik wicanten,
gumujeng, suka, wonten ingkang nangis lan prihatos, ebahipun manut
pikajengipun Ki dhalang ingkang nglampahaken wayang punika wau.
Artinya:
‘Orang melihat wayang lalu ada yang menangis serta ikut prihatin dalam
hati meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanyalah berwujud kulit diukir
dan ditatah dibentuk seperti orang, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton
wayang hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba
nikmat, lalu tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang
seperti siluman dan pergi seperti bermain sulap saja. Sebenarnya wayang itu
bergerak dan berbicara, tertawa, suka, ada yang menangis, bergerak menurut
kehendak Ki dalang yang menjalankan wayang tadi.’
Jadi kalau begitu sudah jelas, adanya wayang kulit itu ketika jaman Sang
Prabu Jayabaya di Kediri (Jawa Timur).
Wayang kayu berasal dari Jawa Timur, umumnya yang memiliki adalah
rakyat di pedesaan dan di pagunungan, sedangkan jumlah wayangnya tidak
banyak, hanya mengambil seperlunya saja, asal cukup untuk memainkan wayang,
kurang lebih hanya ada 40 buah. Gunanya untuk mencari pangan ketika masa
paceklik, ketika orang tani tidak menggarap sawahnya karena krisis air dan belum
ada hujan. Jadi kebanyakan mencari pekerjaan lain, ada yang menjadi buruh ke
kota, sedangkan yang punya gamelan, tetabuhan, jogedan, reyok, serta ada yang
mengamen wayang, mereka pergi ke kota untuk mengamen mencari uang untuk
menyambung umur. Makanya mencari wayang yang lincah mudah dibawa, yang
cocok hanya wayang kayu tersebut karena wayang kayu itu tanpa kelir,
membawanya ringan serta gamelannya hanya berupa: 1. kendang, 2. saron wilah
sembilan, 3. kempul laras enam, 4. ketuk, 5. kenong laras enam, laras slendro.
Cukup dilakukan oleh lima atau orang enam orang, dan lagi kotaknya kecil enteng
dibawa karena wayang kayu itu wayangnya kecil-kecil tidak seperti wayang kulit
purwa yang wayangnya besar. Makanya wayang kayu sampai dinamakan wayang
krucil karena kelihatan kecil-kecil bentuknya. Dinamakan juga wayang klitik
karena dibuat dari kayu, jadi kalau sedang disusun berbunyi kelotakan.
Membuat wayang kayu harus memilih kayu yang kuat padat seratnya, dan
yang empuk jika kena alat tukang, yang baik yaitu mentaos dan kayu kemiri, dan
harus bisa memilih kayu yang tidak gampang dimkan rayap, jadi bisa kuat
disimpan selama-lamanya tidak rusak dimakan rayap tersebut.
Wayang kayu itu banyak macam serta golong-golongannya, ada wayang
kayu purwa dan juga wayang kayu gedog, jadi bukan hanya wayang kayu untuk
cerita Damarwulan babad Majapahit saja.
Wayang golek dibuat dari kayu, sedangkan pembuatannya direka wujud
manusia, maka dinamakan wayang Boneka, jadi tidak dibuat gepeng seperti
wayang Krucil. Wayang tersebut lalu diberi pakaian seperti manusia, wayangnya
diberi pakaian, laki-laki wanita hampir sama, mulai dari pinggang ke bawah diberi
kain batik yang dibuat seperti sarung sebesar ukuran tangan orang agar bisa
masuk untuk memegang tangkai wayang tersebut. Ki dalam dalam memegang
wayang tangannya tidak kelihatankarena tertutup oleh kain sarung wayang
tersebut. Wayang tersebut kepala dan badannya dipisah, lalu disambung dengan
tangkai wayang, ditancapkan di leher yang menjadi satu dengan kepala wayang,
lalu dimasukkan ke badann wayang yang sampai pantat dilebihkan sepanjang satu
genggaman tangan orang sebagai pegangan. Kalau sudah selesai lalu ditancapkan
di gadebog sehingga kelihatan seperti banyak orang yang sedang duduk berjajar.
Maka lalu dinamakan wayang Tengul, dari bentuknya yang kelihatan pating
pantungul. Wayang golek itu kebanyakan dibuat lebih besar kepalanya, tidak
seimbang dengan badannya dan tanpa kaki, kalau ditancapkan kelihatan seperti
orang duduk kelihatan pendek tidak ada pantatnya, jadi seperti orang jatuh
terduduk.
Wayang Tengul itu kebanyakan dari daerah Kudus, Pati sampai Rembang
dan Cepu. Yang dimainkan cerita orang Agung di Kuparman, bernama cerita
Menak, sedangkan kalau wayang Golek kebanyakan di daerah Jawa Barat
(Priyangan), diberi busana seperti wayang orang dan ceritanya juga dengan lakon
wayang purwa. Kalau dimainkan tanpa kelir, sebaiknya dimainkan pada waktu
siang, kalau malam wayangnya kelihatan silau terkena cahaya lampu, karena
kebanyakan wayang dicat minyak. Maka sebaiknya dimainkan hanya pada waktu
siang saja.
Yang dinamakan wayang candra sangkala itu adalah wayang yang
digunakan sebagai tanda waktu ketika pembuatan wayang kulit.
Wayang berupa Gunungan di sebaliknya bergambar nyala api, itu jadi
candra sangkala yang berbunyi: Geni jadi Sucining Jagad. Jadi menunjukkan
tahun candra 1443 ketika jaman Demak pertama, yang menambahi Sunan
Kalijaga.
Wayang berbentuk Batara Guru, naik lembu Handini, yang membuat
Kangjeng Susuhunan Ratu Tunggul di Giri ketika menjadi wakil di Demak.
Candrasangkala yang berbunyi: Salira Dwija jadi Raja, menunjukkan tahun
candra 1478, digunakan dalam wayang purwa kijangkencanan.
Wayang berbentuk Batara Guru, membawa cis tangkainya dililit naga, yang
membuat juga Kangjeng susuhunan Ratu Tunggul di Giri, sebagai tanda ketika
membuat wayang Gedog. Candrasangkala yang berbunyi: Gegamaning Naga
Kanaryeng Dewa, menunjukkan tahun candra 1485, dalam wayang gedog batara
Guru tidak naik sapi.
Wayang berbentuk Batara Guru, menapak di tanah, dodotnya seperti
memakai sarung membawa cis, yang membuat kangjeng Panembahan Senapati di
Ngalaga, di negara Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi: Dewa jadi
ngecis bumi, menunjukkan tahun candra 1541, digunakan dalam wayang purwa.
Wayang berbentuk Buta Panyareng (buta Cakil) artinya buta murgan
(mirunggan), yang membuat Ingkang sinuhun Prabu Anyakrawati di Mataram,
jadi candra sangkala yang berbunyi: Tangan yaksa satataning janma,
menunjukkan tahun candra 1552.
Wayang berbentuk Buta Prepatan, di kakinya ada taji, rambutnya gimbal
diurai, kebanyakan orang menyebutknya buta Rambutgeni sebab dicat merah
muda dengan warna merah sampai rambutnya. Yang membuat kangjeng Sinuhun
Sultan Agung Anyakra Kusuma di Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi:
Jalu buta tinata di ratu, menunjukkan tahun candra 1553.
Wayang berbentuk buta alasan, hanya memakai cawat dan memegang
badama, badannya dicat abu-abu, yang membuat Kangjeng Susuhunan Mangkurat
di Mataram yang dimakamkan di Tegalarum, jadi candra sangkala yang berbunyi:
Wayang buta ing wana tunggal, menunjukkan tahun candra 1556.
Wayang berbentuk batari Durga naik batu gilang, ditumbuhi tumbuhan
merambat, juga dibuat oeh Kangjeng Susuhunan Mangkurat yang dimakamkan di
Tegalarum, sebagai tanda ketika membuat wayang gedog, jadi tidak bisa
digunakan dalam wayang purwa, jadi candra sangkala yang berbunyi: Watu
Tunggangane buta Bidadari, menunjukkan tahun candra 1571.
Wayang berbentuk buta gundul, lehernya pendek hidungnya bulat seperti
terong glatik, matanya hanya satu. Badan buta tanpa leher jadi gemuk kelihatan
bulat, dalam pedalangan dinamakan Buta Endog. Yang membuat Kangjeng
Susuhunan Mangkurat putra sinuhun di Tegalarum, jadi candra sangkala yang
berbunyi: Marga sirna wayanging raja, menunjukkan tahun candra: 1605.
Wayang berbentuk buta wanita memakai pakaian buta wayang laki-laki,
matanya satu tangannya dua, dinamakan buta Kenyawandu. Yang membuat
Kangjeng Pangeran Puger di Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi: Buta
nembah rasa Tunggal yaitu menunjukkan tahun candra 1625.
Wayang berbentuk buta mata satu hidungnya seperti terong kopek dan
membawa keris. Dalam pedalangan dinamakan buta Congklok atau yang lumrah
disebut Buta Terong. Yang membuat adalah Kanjeng Susuhunan P.B. II di
Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi, Buto lima ngoyag Durga,
menunjukkan tahun candra 1655.
Wayang berbentuk Batari Durga, memakai baju dan sepatu dan membawa
keris, dirambati tumbuh-tumbuhan hutan, yang membuat Kanjeng susuhunan
P.B.II ketika membuat wayang gedog dan diberi nama Kyai Banjet, jadi candra
sangkala yang berbunyi: Wayang Misik Rasaning Bidadari, menunjukkan tahun
candra 1656. Digunakan dalam wayang gedog, tidak boleh digunakan untuk
wayang purwa.
Wayang berbentuk Gunungan, di bagian tengah bawah bergambar pintu
gapura, di kiri dan kanan ada gambar buta memanggul gada, yang membuat
Kanjeng Susuhunan P.B.II di Kartasura ketika membuat wayang klitik (Krucil)
yang dibuat dari kayu, milik Pangeran Ratu Pekik di Surabaya untuk lakon
Damarwulan. Setelah jadi disebut wayang Krucil atau kyai Krucil, wayang itu
sampai sekarang masih ada di kraton Surakarta tapi wayang tersebut sudah rusak
tidak bisa dimainkan lagi. Wayang gunungan yang tersebut di atas jadi candra
sangkala yang berbunyi: Gapura lima retuning bumi, yaitu menunjukkan tahun
candra 1659. Gunungan tersebut digambar gapura, yang ditiru adalah bentuk
gapura Candi Bajang Ratu di Trowulan Majaagung, sebagai pengingat kalau
wayang Krucil itu ceritanya adalah Damarwulan ketika jaman Majapahit, jadi
cocok dengan sejarah. Gunungan tersebut hanya digunakan dalam wayang krucil,
bukan untuk wayang purwa karena asal wayang krucil itu dari Jawa Timur. Pada
waktu itu yang punya adalah Pangeran Ratu Pekik di Surabaya, jadi asalnya pola
wayang tadi yang tiniru dari Jawa Timur.
Jadi wayang-wayang yang digunakan dalam candra sangkala itu jangan
sampai diubah nanti jadi berbeda maksudnya. Bentuk gambar yang sudah jadi
tersebut jangan sampai ditambahi atau dikurangi karena merupakan penanda
waktu ketika para linangkung yang membuatnya. Untuk menyempurnakan bentuk
wayang-wayang kulit, sejak masih berbentuk sederhana sampai sekarang.
Kesempurnaan manusia sama seperti cacat Sanghyang Guru. Sanghyang
Guru memiliki empat cacat sebagai jadi perlambang hidup. Yang pertama adalah
putih belang, yang kedua memiliki taring seperti raksasa, yang ketiga kakinya
apus pepes, yang keempat tangannya siwah. Jadi ada empat arti agar orang dalam
lengkap dalam menjalankan perintah. Diberi empat macam kegelapan hati, yaitu
Apes, Rusak, Lali, Murka, itu tidak bisa dihindari, sudah jadi ketentuan orang
hidup di dunia ini, akan hilang kalau sudah sampai waktunya. Orang yang berilmu
akan bisa mengatasi keempat perkara yang merusak budi tersebut, dikembalikan
pada asalnya supaya bisa sempurna seperti dulu.

3 komentar:

  1. Terimakasih , wawasan pewayangan ini sangat menambah wawasan tentang kebaikan dan keburukan di dalam kehidupan manusia.

    BalasHapus
  2. Terimakasih , wawasan pewayangan ini sangat menambah wawasan tentang kebaikan dan keburukan di dalam kehidupan manusia.

    BalasHapus