Minggu, 18 Agustus 2013

MENATA WAYANG PURWA

A. Digunakan dalam Hajatan
Carannya, yang lebih dulu dipasang yaitu gedebognya, tapakdara
berjumlah empat buah diatur berjajar empat sesuai dengan panjang pendeknya
kelir dilebihkan kurang lebih satu meter. Pada bagian yang dipasang gedebog
yang panjang dulu sebagai tempat untuk para ratu (Katongan). Panjangnya
gadebog kurang lebih ada 6 meteran, kalau kurang bisa disambung disatukan di
tengah pucuk dengan pucuk. sedangkan pangkal gadebog ada di ujung kelir kiri
dan kanan. Lalu ambil gadebog yang satu lagi yang berukuran pendek sekitar lima
meteran, dipasang agak rindah sedikit untuk tempat para patih dan punggawa
yang pada menghadap ratunya. Yang ini agak pendek beda antara 6 cm, lalu
ditancapi tapakdara yang lancip agak pendek. Gadebog lalu dijajar dua, yang
panjang di atas, yang pendek di bawah. Kedua gadebog tadi lalu diikat dengan tali
kecil supaya bisa rapat, rata dan bisa kuat jangan sampai bergoyang. Lalu mulai
menggelar kelir yang akan dipasang, lubang kelir yang akan dipasang kiri dan
kanan lalu dimasuki sligi.
Sligi itu terbuat dari kayu jati yang dibuat bulat panjangnya menurut lebar
kelir yang sebelah dilebihkan 25 cm. Yang di bawah diruncingkan supaya
gampang menancap di gadebog sedangkan yang di atas rata. Yang rata
dimasukkan pada blandar kelir. Blandar itu dibuat dari bambu wulung dilubangi
kiri kanan. Panjangnya menurut panjang kelir dilebihkan 40 cm di satu sisi. Cara
merentangkan kelir itu harus dua orang, memegangi sligi kiri kanan. Sligi yang
rata dimasukkan ke lubang blandar kiri dan kanan, lalu diangkat bersama-sama
dan ditumpangkan di gadebog atas, lalu direntangkan yang sama kencang. Sligi
yang lancip di kiri dan kanan lalu ditancapkan ke gadebog secara bersama-sama.
Kelir sudah kelihatan terbentang menancap di gadebog, lalu blandar kelir diikat
dengan tali kecil pada tiang rumah kiri dan kanan, yang kuat jangan sampai rubuh
kalau tersenggol-senggol orang atau bocah. Karena kalau nanggap wayang pasti
banyak bocah yang menonton di sana. Makanya pemasangan kelir harus kuat.
sekarang kelir bagian palemahan di bawah ditancapkan di gadebog
paseban yang sebelah atas mulai dari kanan ke kiri. Cara menancapkannya adalah
dengan diselipkan supaya kalau tertarik ke atas jangan sampai gampang copot.
Lalu ganti platet kelir yang ada di atas ditarik dengan tali pluntur atau tali kecil
yang kuat jangan sampai gampang putus. Tapi pluntur itu diikat di blandar kelir
yang pas ditancapkan sligi, lalu ditarik ke bawah dimasukkan dalam platet mulai
dari sebelah kanan dahulu. Pluntur lalu dikaitkan di blandar kelir lalu ditarik ke
bawah dimasukkan di platet lagi, ditarik ke atas diikatkan pada blandar, ditarik ke
bawah. Begitu berulang-ulang sampai di platet yang terakhir di sebelah kiri lalu
diikat yang kencang. Merentangkan kelir harus kencang dan rata, jangan sampai
kendor kelihatan bergelayut. Kelir jika kendor pemasangannya, untuk memainkan
wayang tidak enak. Bagi yang menonton kurang bagus. Makanya pemasangan
kelir itu sebisa mungkin kelihatan terentang bersih dan kelihatan rata, serta agat
sedikit mayat. Sekarang pemasangan kelir sudah selesai. Kotak tempat wayang
segera diletakkan di sebelah kiri, dirapatkan dengan gadebog tempat wayang yang
di bawah, kotak lalu dibuka tutupnya diletakkan di sebelah kanan, bersebelahan
dengan kotak yang ada di sebelah kiri tadi.
Sekarang ganti memasang tali atau rantai yang akan digunakan untuk
menggantung blencong lampu wayang. Tali atau rantai itu diikat di blandar
rumah. Blencong lalu digantungkan. Untuk mengukur jauh dekatnya dengan kelir
kira-kira dua jengkal lebih 45 cm dengan nyala blencong sedangkan dari atas
blencong digantungkan antara dua jengkal, diukur dari atas kepala dalang kalau
sudah duduk dibawah kelir. Duduknya dalang itu tidak berada persis di bawah
blencong tapi agak mundur sedikit agar wajah Ki dalang jangan sampai tersorot
oleh nyala blencong itu karena kalau sampai tersorot nyala blencong maka akan
silau penglihatannya pada wayang wayang.
B. Sumping Sekar Melati
Meyumping wayang kulit dengan benar tidak gampang. Nyumping artinya
dari kata sumping misalnya asesumping sekar melati, yaitu sepasang kembang
melati diselipkan di telinga (daun telinga kiri dan kanan), harus memilih bunga
yang besarnya sama dan sesuai dengan telinga. Tersebut arti kata sumping,
membuat agar agar bisa kelihatan seimbang jiia dilihat dari tengah-tengah.
Begitu juga menyumping wayang, yaitu menjajarkan wayang yang
ditancapkan di gadebog urut dari yang besar sampai yang kecil, pemasangan
wayang yang besar agak jauh dari kelir sedangkan wayang yang ukuran sedang
menempel di kelir, ditancapkan di gadebog atas, kiri dan kanan. Cara
mengaturnya harus dibuat sama supaya kalau dilihat bisa kelihatan timbang,
jangan sampai kelihatan berat sebelah. Jika wayangnya banyak yang tersisa,
disumping pada gadebog yang sebelah bawah, juga diurutkan seperti yang sudah
selesai disumping di sebelah atas tadi. Cara penataan kiri dan kanan dibuat sama,
jangan sampai kelihatan tidak seimbang jika dilihat. Jadi intinya kembali pada
kata sumping tersebut, harus imbang kiri dan kanan. Penataannya supaya
kelihatan rapi, urut bahu wayang yang besar terus diurutkan sampai wayang yang
kecil. Di sebelah kiri dan kanan wayang yang disumping tersebut di tengah diberi
sela untuk tempat wayang jika dalang sudah mulai memainkan wayang. Sela
tempat tadi lebarnya antara 180 cm, lebih lebar yang sebelah kiri. Sebelum
wayang mulai main, kayon (gunungan) ditancapkan di tengah kelir dulu. Cara
menancapkan wayang semua harus pas dengan palemahan kelir, kalau terlalu
dalam menancapkannya disebut kungkum, kalau terlalu ke atas disebut terbang,
makanya palemahan wayang harus bisa menumpang pas dengan palemahan kelir.
Cara penataan wayang itu yang paling atas pasti gunungan (kayon), lalu
wayang sumpingan sebelah kanan. Wayang yang paling besar yaitu Prabu
Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditata sebagai wayang sumpingan sebelah
kanan. Kayon diambil dulu lalu ditancapkan di gadebog paseban atas di tengah
kelir pas dengan palemahan kelir. Kalau belum untuk menancapkan rapat dengan
kelir supaya kelihatan rajin. Lalu wayang bagian sumpingan kanan diambil
sekaligus dengan ebleknya keluar dari kotak lalu ditumpuk di atas tutup kotak
yang ada di sebelah kanan tempat duduk tempat duduk dalang, lalu diambil satusatu
urut dari atas, Wayang yang paling besar pada sumpingan kanan yaitu Prabu
Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditancapkan di dagebog atas. Terakhir, kelir
sebelah kanan agak keluar sedikit, lalu Wrekudara yang badannya gemblengan
(prada kuning), lalu Wrekudara yang badannya hitam. Begitu seterusnya sampai
putran dan putren, sampai Dewa Ruci dan putran bocah kecil habis. Cara
penataannya jangan sampai ditancapkan miring lurus, yang ada di depan sendiri
agak miring sedikit. Kalau sudah ada lima wayang yang ditancapkan, baru dibuat
agak miring lurus sampai habis. Semua wajah wayang diatur supaya kelihatan
jelas satu-persatu, supaya gampang memilih wayang jika sewaktu-waktu
dibutuhkan oleh dalang, serta bahu wayang dibuat urut mulai dari depan sampai
habis. Palemahan wayang menumpang di palemahan kelir, diurutkan yang rapi
jangan sampai kelihatan naik turun. Maksudnya agar wajah wayang terlihat jelas
sehingga memudahkan memilih wayang. Menancapkan wayang harus dikira-kira
agar bisa kuat jangan sampai terlalu dalam atau terlalu dangkal. Kalau terlalu
dalam menancapkannya nanti sewaktu-waktu dibutuhkan susah diambil, kalau
terlalu dangkal, kalau kelir itu tersenggol bergerak karena sabetan wayang atau
tersenggol bocah, wayangnya bisa ambruk sehingga kurang baik atau bisa
merusakkan wayang.
Kalau menyumping wayang sebelah kanan sudah selesai, ganti yang
sebelah kiri. Cara penataannya juga sama seperti sebelah kanan. Bedanya kalau
yang sebelah kiri yang ada paling depan adalah buta Raton yang biasa dinamakan
Kumbakarna terus disambung buta Raton muda, lalu Dasamuka seterusnya
sampai wayang yang kecil yaitu Caranggana atau Pinten dan Tansen. Semua
tangan wayang diatur ngapurancang agar jangan sampai kelihatan terlalu panjang
pegangan tangannya. Cara menancapkan wayang disusun agar kelihatan rapi asri
dipandang. Kiri dan kanan kalau dipandang kelihatan timbang, itulah yang
dinamakan nyumping wayang. Tinggi rindahnya pemasangan gadebog paseban
yang bawah hampir sama dengan bibir kotak wayang, kalau sampai terlalu ke atas
nanti nyangklak, tidak enak untuk sabetan wayang, kalau terlalu rindah wayang
kelihatan amblas juga kurang bagus. Maka agar pas, yang dipakai untuk
mengukur adalah bibir kotak wayang.
C. Menyumping Cara Pedesaan
Tata cara menyumping wayang cara pedesaan sama saja, hanya bedanya
yang pasti, kadang terselip wayang yang tidak pantas disumping ikut disumping
sehingga mengotori yang ditonton. Biasanya wayang di pedesaan itu kalau
wayangnya lengkap, kadang-kadang ada wayang buta Raton kepala Kerbau
(Maesasura) dan buta kepala sapi (Lembusura) dan ada lagi dewa kepala Gajah
(Batara Ganesa) dan buta Balasrewu (Triwikrama) serta Petruk jadi ratu (Prabu
Gurdinadur). Itu semua digolongkan wayang katongan sedangkan wayang yang
besar-besar itu ikut disumping sehingga membuat kacau dan kurang pantas.
Sehabis melihat wayang yang bagus di sumpingan sebelah kanan, setelah ganti
melihat sumpingan sebelah kiri lalu melihat bentuk kang menyolok mata yaitu
bentuk kepala hewan kelihatan menyembul bercampur dengan wayang yang
berwujud manusia di sumpingan. Apalagi melihat hidung Petruk menutupi mulut
Dasamuka. Itu namanya tidak bisa timbang dengan yang ditonton. Memang benar
menurut waton wayang, yang disumping itu golongan wayang katongan dan
putran. Tapi kalau wayang tersebut tidak pantas dan kurang sesuai maka tidak
perlu diikutkan dalam sumpingan, nanti malah merusak pandangan. Dan lagi ada
wayang kera Sugriwa dan Subali yang juga sering diikutkan dalam sumpingan, itu
juga kurang bagus.
Intinya harus dipilihi mana wayang yang sekira pantas dan sesuai jadi
tontonan dalam sumpingan tersebut. Kalau hanya menuruti wayang wayang
katongan dan putran yang harus disumping, nanti akan ada wayang Kurawa ikut
dalam sumpingan. Kurawa yang ikut dalam sumpingan itu hanya Prabu
Duryudana dan putranya Lesmana Mandrakumara. Sedangkan wayang kera yang
pantas ikut disumping itu hanya satu Hanoman, diletakkan di sumpingan kanan.
Resi Parasu wayangnya besar sama dengan Jagal Bilawa, juga kurang pantas jika
diikutkan dalam sumpingan karena rambutnya mengembang dan kelihatan
pahanya yang tanpa celana. Itulah yang membuat kurang pantas menjadi tontonan.
Jadi semua wayang yang kelihatan aneh jangan sampai diikutkan dalam
sumpingan, sebaiknya dicampur dengan wayang dudahan saja. Urutan tatanan
menyumping wayang purwa bisa dilihat dalam serat Bau Warna Wayang jilid
satu, di sana sudah ada keterangan jelas dengan wanda-wanda wayang purwa
lengkap.
D. Menyumping Cara Pesisir
Caranya sama dengan sumpingan cara pedesaan, bedanya, ada yang sangat
menyimpang sehingga membuat kurang enak ditonton yaitu setelah menyumping
wayang kiri dan kanan lalu di atas kepala wayang sumpingan yang sebelah kanan
disisipi wayang Batara Guru, sumpingan sebelah kiri disisipi Batari Durga. Semua
seperti berada di atas kepala wayang yang disumping di sebelah kiri dan kanan
tadi. Kalau menurut kesesuaian dan keindahan kurang baik karena menbuat kotor
tontonan. Barang yang sudah diatur dengan rapi dan kelihatan bersih, malah
ditambahi barang yang aneh di atas kepala wayang sumpingan, terlebih lagi
Batara Guru yang mengendarai sapi, jadi kelihatan ada sapi di atas kepala. Yang
seperti tersebut harus dipikirkan jangan hanya dipikir bahwa itu adalah wayang
yang ada dalam satu kotak ternyata malah menghilangkan keindahan tontonan
Begitulah jika orang tidak mengerti pada keindahan tontonan, terlebih jika
wayangnya banyak dan lebih lengkap, kadang-kadang mempunyai wayang
Sanghyang Wenang dan Sanghyang Tunggal, lalu kelihatan sumpingannya terlihat
tidak rata. Wayang yang digunakan dalam pasamuan apa saja, itu sebenarnya
hanya untuk meramaikan suasana, jadi tontonan yang kelihatan indah dan menarik
hati.
Maka di sini disampaikan bahwa tidak gampang menata wayang
sumpingan, harus bisa membuat tontonan yang rapi dan bisa memperlihatkan
keindahan wayang, bisa memilih mana wayang yang patut jadi tontonan dalam
sumpingan agar kelihatan enak dipandang karena wayang ketika dipakai main
oleh Ki Dalang atau sebelumnya akan jadi tontonan para priyayi yang hadir dan
menyaksikan permainan Ki Dalang tersebut. Selain melihat kepiawaian Ki Dalang
juga melihat keindahan tontonan wayang yang dijajar di kelir sebagai pemanis
acara tadi. Kalau ada tamu yang senang pada bentuk wayang tadi malah kadangkadang
sampai lama bertanya pada penyumping. Kadang bertanya ini wayang dari
mana, milik siapa kok kelihatan bagus, pastinya yang punya tahu dan suka pada
keindahan kagunan Jawa sehingga bisa menyesuaikan bentuk dengan
keindahannya. Sebaliknya jika penataannya kurang baik, kelihatan naik turun dan
banyak wayang yang tidak patut diikutkan dalam sumpingan, lalu kelihatan aneh
dilihat, wayangnya lalu kelihatan remeh. Dalam seni kebudayaan lalu tidak ada
harganya karena kurang bisa menempatkan wayang jika akan digunakan untuk
hajatan. Ada lagi menyumping wayang kayonnya ada tiga (gunungan) yaitu yang
ditancapkan di tengah satu, sedangkan yang dua ditancapkan di sebelah kiri satu,
di sebelah kanan satu, ini memperlihatkan jika yang punya wayang sedang senang
pada bentuk ukiran wayang yang kelihatan rumit, lalu ingin membuat gunungan
sampai tiga jumlahnya. Setelah wayang digunakan lalu diikutkan semua sekalian
dipamerkan pada para tamu, supaya bisa dilihat oleh para tamu.
Gunungan tiga dibuat tiga macam, ada yang bentuk kolaman dan ada yang
bentuk gapuran, di sebaliknya dicat berbeda-beda, jadi tiga macam. Ada yang
merah menggambarkan nyala api, ada yang dicat abu-abu menggambarkan awan
dan ada yang dicat biru muda bergaris putih menggambarkan air atau angin.
Begtersebut maksud yang punya wayang. Ada lagi wayang gunungan yang dicat
bolak-balok sama, tanpa dicat nyala api. Itu adalah gunungan yang hanya untuk
wayang kayu, yaitu wayang klitik atau wayang golek di tanah Pasundan, karena
wayang kayu itu tanpa kelir jadi jika dilihat dari depan atau dari belakang bisa
kelihatan sama.
Kalau sumpingan wayang kayonnya ada dua, yang satu pasti ditancapkan
di tengah sedangkan satunnya lagi ditancapkan di sebelah kiri. Itu akan membuat
tontonan kelihatan berat sebelah, setelah melihat tontonan besar sampai yang
kecil, kiri dan kanan sudah kelihatan timbang, di tengah lalu ada bentuk cembung
satu yaitu gunungan, itu sudah baik malah ditambah di sebelah kiri ada gunungan
satu lagi sehingga menjadi kurang enak dilihat.
Repotnya memasang sumpingan kayon tiga atau dua yaitu kalau akan
gapuran. Srinata kembali ke istana dan berhenti di depan bangsal Srimanganti.
Kayon yang ada di tengah tadi akan susah mau ditancapkan di mana. Kalau
ditumpuk jadi satu akan kelihatan berjejal, tidak enak dilihat. Sedangkan jika ada
dua gunungan, susahnya adalah ketika perang ampyak, perang prajurit prampogan
yang akan meratakan jalan, yang digunakan untuk menggambarkan hutan dan
semak-semak juga gunungan itu lagi. Kayon yang ada di tengah akan lalu
ditancapkan di sumpingan yang sebelah kanan. sedangkan yang kiri pasti yang
akan dijadikan hutan dan semak tadi. Kalau sudah ditancapkan semua, prampogan
akan kelihatan ada di tengah-tengah seperti diapit gunungan, jadi seperti ada
dalam jurang di tengah-tengah gunung. Kalau sudah dimainkan akan kelihatan
goncang, menghilangkan keindahan tontonan dan memenuhi tempat, kelir jadi
kurang luas karena penuh dengan wayang yang besar-besar menutupi tontonan
yang lain. Sebaiknya kayon (gunungan) itu cukup satu saja sudah cukup, jadi
tidak kelihatan memenuhi tempat.
E. Memajang Wayang
Menurut pedalangan di Surakarta, menata wayang sumpingan itu sudah
ditentukan karena wayangnya hanya mengambil wayang yang bisa digunakan
untuk lakon apa saja. Jadi tidak perlu terlalu banyak memajang wayang. Kalau
kebanyakan lebih baik dijadikan dua kotak sedangkan yang sudah-sudah, biasanya
wayang gunungan cukup hanya satu saja serta dicat seperti pada umumnya, yaitu
di sebaliknya digambar nyala api. Karena itu biasanya dalam cerita pedalangan
kalau sedang terjadi kebakaran atau menggambarkan kawah Candradimuka, yang
digunakan adalah bentuk gambar nyala api tersebut.
Adanya gunungan atau yang dinamakan Kayon itu ketika sabelum jaman
Kartasura, kebanyakan adalah bentuk kolaman yang hanya menggambarkan
bentuk seisi hutan, pepohonan yang mempunyai buah dan bunga, sampai dengan
hewan buruan, yaitu buruan darat, ari dan burung. Yang seperti itu dinamakan
kayon Kolaman. Setelah jaman Kartasura, Kanjeng Susuhunan P.B. II membuat
wayang klitik yang terbuat dari kayu mirit, dibuat oleh Pangeran Ratu Pekik.
Setelah jadi disebut wayang krucil, oleh orang banyak disebut wayang klitik, lalu
diberi candra sangkala memet berupa wayang gunungan, di tengah digambar pintu
gapura, di kiri kanannya dijaga raksasa yang membawa gada. Diberi candra
sangkala Gapura Lima Retuning Bumi, yaitu tahun 1659.
Jadi wayang gunungan yang memakai gambaran gapura itu adanya ketika
jaman Kartasura dan digunakan dalam wayang Krucil. Bolak-balik gambarnya
sama karena wayang kayu itu tanpa kelir dan banyak dimainkan pada waktu siang
hari. Sampai sekarang banyak wayang purwa pada dengan Kayon (gunungan)
berbentuk gapuran, sedangkan yang bentuk kolaman semakin berkurang.

1 komentar: