Minggu, 18 Agustus 2013

PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG

A. Wayang Beber Majapahit
Wayang beber itu bisa dinamakan gambar wayang yang terbuat dari kertas
atau mori (kain putih), digambar wayang sesuai lakonnya. Bentuk cerita lakon
wayang hanya satu cerita atau satu adegan. Sedangkan yang paling pertama
dinamakan satu jejeran, jadi dalam satu lakon sampai ada sekitar enambelas
adegan yang dibagi empat, empat adegan digulung jadi satu. Jadi satu lakon ada
empat gulung dimasukkan peti panjang yang menjadi kotak Wayang beber
tersebut. Contohnya adalah lakon Tumenggungan, Kyai Tumenggung Conacani
kedatangan Dewi Sekartaji serta gambar keadaan pasar gede di Tumenggungan,
ada orang mengamen terbang (kentrung) sampai membuat kagum orang satu
pasar, yang mengamen yaitu Jaka Kembang Kuning lalu pingsan di atas sang
Dewi. Ada gambar yang menjadi titimangsa tahun candra berupa gambar seorang
wanita menyalakan api untuk memasak kue serabi, lalu didekati oleh seorang lakilaki,
yaitu tukang juru menangkap ikan yang akan menjual ikannya di pasar itu.
Karena masih pagi dan udaranya dingin, dia lalu mendekati sekalian ikut
menghangatkan diri. Karena masih sepi belum banyak orang, yang ada hanya
penjual serabi yang sedang memasak serabi tersebut, lalu bersenda gurau sampai
kebablasan. Makanya lalu digunakan untuk candra sangkala tahun candra yang
berbunyi: Gawe srabi jinamah ing wong, menunjukkan tahun candra 1614.
Asal mula wayang beber yang berisi lakon Jaka Kembang Kuning itu dari
desa Karangtalun, Kaluhuran, Bangunsari, kacamatan Danareja, kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Sekarang, yang memiliki wayang beber tersebut bernama
Pak Sarnen yang berdukuh di desa Karangtalun, yaitu yang jadi dalang wayang
beber, yang bisa memainkan cerita wayang kang lakon Jaka Kembang Kuning
tersebut. Menurut dongeng Pak Sarnen, sesuai cerita kakek neneknya yang
menceritakannya sendiri, sejak ada orang bernama Ki Naladrema, yaitu orang dari
desa Gedompol di bawah Pring Kuku, menerima anugerah dari ratu Majapahit,
Prabu Brawijaya karena bisa menyembuhkan sakit putri Sang Prabu lalu diberi
anugerah berupa gulungan kertas yang berisi gambar wayang satu lakon, turuntemurun
bisa mencukupi dalam mencari sandang pangan. Ki Naladrema lalu
didongengi isi kisah Jaka Kembang Kuning itu supaya diperhatikan, bisa untuk
mengamen di pedesaan dengan membawa gambar wayang yang berisi cerita kisah
Jaka Kembang Kuning tersebut. Lama-lama lalu bisa baik menceritakan, lalu
sampai bisa jadi dalang wayang Beber yang kondang di pedesaan. Lalu terus
bersambung sampai keturunanya bisa menjadi dalang wayang beber tersebut.
Ketika sampai Pak Sarnen sekarang, sudah ada sembilan turunan dari Ki
Naladrema tersebut. Dalam cerita gambar dongeng Jaka Kembang Kuning
tersebut, ada punakawan pengikut Ki Jaka dua orang yang satu bernama
Naladrema, satunya bernama Tawangalun, mengambil nama orang yang
menerima anugerah tersebut, orang yang bernama Naladrema dari desa
Karangtalun untuk nama kedua punakawan itu. Naladrema dan Tawangalun.
Nama desa Karangtalun dijadikan nama manusia mnejadi Tawangalun, adalah
sebagai peringatan. Kalau menurut cerita Panji, kedua panakawan tersebut
bernama Jarodeh dan Prasanta.
Kalau menurut tahun candrasangkala memet seperti yang disebut di atas,
tidak bisa cocok dengan tahun candra ketika jaman Majapahit. Cocoknya dengan
wayang candrasangkala yang lain, yaitu ditemukan ketika jaman Kartasura saja,
ketika Kangjeng Susuhunan Mangkurat pertama berada di Kartasura membuat
wayang Buta Endog yang jadi candra sangkala berbunyi Buta sirna wayanging
janma, tahun candra 1605. Jadi hanya termasuk semasa dengan wayang Buta
Endog tersebut, malah masih lebih tua Buta Endog beda sembilan tahun.
Wayang beber yang diceritakan oleh Pak Sarnen, kalau memang
pemberian dari Prabu Brawijaya di Majapahit yang diberikan pada Ki Naladrema
sebagai anugerah karena bisa menyembuhkan sakit putrinya, itu salah, karena
tidak cocok dengan candra-sangkala yang ada dalam gambar wayang tersebut.
Wayang beber lakon Jaka Kembang Kuning itu dibuat pada tahun jawa 1614,
sudah masuk jaman Kartasura, yang menjadi ratu adalah Kangjeng Susuhunan
Mangkurat. Pada waktu itu ia membuat wayang beber pada tahun 1614, jadi beda
9 tahun, lebih tua buta Endog. Jadi wayang beber Jaka Kembang Kuning itu yang
benar dibuat di Kartasura, bukan berasal dari jaman Majapahit.
B. Wayang Angkrok Sarapada
Dinamakan wayang angkro karena yang diniru sebagai pola adalah dari
mainan anak yang terbuat dari kardus atau kertas tebal, digunting seperti gambar
manusia, kepala sampai leher dipisah dibuat sendiri, badannya dibuat sendiri,
bahu dan tangannya dibuat sendiri, paha dan kakinya juga dipisah sendiri-sendiri.
Kalau sudah selesai dicat dengan wenter atau tinta merah dan hitam atau
hijau, terserah pada pembuatnya. Lalu disambung-sambung digandeng menjadi
satu menjadi bentuk manusia, badannya diberi bilah bambu, leher, bahu dan paha
disambung dengan benang. Kalau benangnya ditarik, kepala sampai tangan dan
kaki bisa bergerak seperti manusia. Mainan bocah berupa angkrok itu kebanyakan
dijual kalau sedang ada keramaian di pedesaan atau kalau ada wayang yang
sedang ditanggap di pedesaan. Lama-lama ada seorang dalang yang
memperhatikan dolanan angkrok tersebut lalu ditiru dibuat wayang. Cara
pemisahannya sama, hanya bedanya adalah cara dalam memasang pegangan.
Kalau wayang Sarapada kakinya depan dan belakang diberi pegangan sendirisendiri
untuk ditancapkan di gadebog sendiri-sendiri, tangannya juga diberi
pegangan sendiri. Tangan depan bertangkai satu sedangkan tangan belakang
bertangkai dua agar bisa digunakan untuk menjepit tombak, karena Sarapada
adalah seorang prajurit panumbak, kalau menombak sangat tepat, setiap keluar
pasti memegang tumbak. Kepalanya diberi tangkai panjang sampai di bawah sama
seperti tangkai tangan untuk menggerakkan supaya kalau sedang menombak bisa
bergerak mengangguk-angguk. Wayang ini terbuat dari kulit yang ditatah serta
dicat tidak berbeda dengan wayang lainnya.
Wayang Sarapada itu keluar ketika perang ampyak, yaitu prajurit
prampogan yang sedang meratakan jalan masuk sampai ke hutan di pinggir
pedesaan, banyak tanah yang tinggi atau jurang yang tidak terlalu dalam diratakan
oleh prajurit prampogan dan dibuat jalan, makanya seringkali ada macan yang
keluar lalu mengamuk atau babi yang berani menerobos barisan, yaitu babi
warokan yang tebal kulitnya dan berani mati sehingga bisa membubarkan para
prajurit. Dalam cerita pedalangan itu lalu ada seorang abdi dalem gamel bernama
Mas lurah Sarapada, di desanya ber nama Ki Cekruktruna. Karena kepandaiannya
memanah lalu dinaikkan pangkatnya dan bernama Kyai Demang Matangyuda,
sudah tua dan agak aneh, memakai ikat kepala batik kawung, sumping kembang
regulo merah, di ikat kelapanya diberi dicunduki bunga ceplok piring putih,
alisnya pinidih anjait, kumis tipis, sudah ompong agak kempot, janggutnya
ditumbuhi jenggot yang jarang-jarang, berkalung sapu tangan, bajunya bergaris
gandariya, lengan pendek sampai bau kalinting, kainnya ceplok berikat pinggang
lurik, membawa keris dengan rangka gayaman kayu timaha dengan sonder sutra
merah. Lipatan kain diselempangkan di warangka sehingga kelihatan singset,
celananya mekao berwarna hitam, dipotong berbentuk tapak belo. Seperti itulah
wujud Ki lurah Sarapada kalau sedang ikut dalam lakon pajang pesisir, dengan
pakaian keprajuritan.
Sarapada kalau keluar dalam peperangan yang pasti musuhnya hanya babi,
kalau musuh macan agak jarang, karena hutan yang dekat dengan desa itu
kebanyakan hanya babi yang merusak tanaman petani. Kalau mulai perang
gendingnya godril, jadi cocok dengan lagu geculan.
Sarapada kalau perang yang pasti menombak babi memiliki arti hanya
untuk selingan untuk menyenangkan anak-anak yang menonton wayang pada
waktu sore sekitar jam sebelas malam. Wayangan itu kalau masih sore
kebanyakan dipenuhi anak-anak, mereka ramai sekali sampai tidak bisa
mendengarkan cerita Ki dalang. Makanya ketika sudah agak malam dimainkan
lakon perang wayang geculan untuk melayani bocah-bocah tersebut, kalau sudah
selesai perang ampyak, Sarapada membunuh babi lalu berhenti ganti adegan di
negara sabrang siapa ratunya dan di mana kerajaannya sesuai lakon. Bocah-bocah
lalu bubar pulang karena sudah banyak yang mengantuk.
Makanya dalang itu biasa melakukannya karena kalau kebanyakan bocah,
sang dalang akan merasa sedih, ceritanya tidak bisa didengarkan. Saparada
menombak babi itu maksudnya untuk membuang jengkel, untuk membuang sebel
Ki dalang karena terganggu ramainya bocah-bocah tersebut. Setelah Sarapada
keluar, bocah-bocah lalu bubaran, hanya tinggal orang-orang tua yang
memperhatikan ceritanya Ki Dalang. Wayang Sarapada itu, kebanyakan
dimainkan di pedesaan, kalau sekarang sudah merata di desa atau di kota sama
saja.
C. Wayang Geculan Gentong Lodong
Wayang geculan digunakna hanya untuk perang gagal, untuk di pedesaan
untuk menyenangkan bocah-bocah dan para muda yang belum terlalu senang
memperhatikan wayang. Hanya senang melihat lelucon dalang dalam memainkan
wayang dan mengeluarkan wayang geculan untuk selingan dalam perang gagal,
sebagai lelucon untuk menyenangkan bocah-bocah.
Untuk menyenangkan bocah-bocah tersebut diambilkan wayang geculan
berupa wayang Punggawa Sabrangan berpangkat Tumenggung dengan nama
Tumenggung Surumedem atau Patratholo. Ada lagi yang bernama
Murtijetemirun, kalau kurang panjang namanya ditambahi Rumrumarum
Retnahilawa, agar bocah-bocah banyak yang tertawa. Lalu barisan dari Jawa,
umumnya yang jadi silihan adalah para punggawa pangkat Tumenggung, wayang
kang pasti jadi silihan adalah patih Pragota, namun kalau wayangnya lengkap
sudah ada wayangnya sendiri.
Biasanya, menurut dalang cara pedesaan yang digunakan untuk perang
gagal itu adalah pasukan manusia melawan pasukan manusia untuk mengeluarkan
geculan tersebut. Sampai ada lakon Sabrangan Ratu Buta, juga dibuat dengan
pasukan manusia. Pasukan buta hanya untuk persediaan perang kembang. Yang
seperti itu sebenarnya keliru, tapi sudah jadi umum dan tidak bisa diubah. Dalang
kalau kurang bisa membuat anak-anak senang lalu kurang laku di pedesaan.
Wayang geculan berupa wayang bapangan pocol sebagai geculan lelucon bocah,
mereka menamainya Gentonglodong. Wujud wayangnya gemuk matanya besar,
wataknya sok tampan, percaya diri, senang dipuji, tidak merasa kalau wajahnya
jelek.
Tapi ada baiknya juga, kalau digoda wanita gampang kelaur uangnya,
kalau berjalan tangannya memegang lipatan kain, tangan kanan membawa sapu
tangan sutra, harumnya mneyebar jika sering dikibaskan, kalau bicara seperti
mengguman, senang bercanda, berdiri bertolak pinggang, sering berkaca, tidak
berpisah dengan cermin kecil di tangan kiri, sebentar-sebentar bercermin melihat
kalau-kalau wajahnya ada cacat. Begitulah watak wayang geculan
Gentonglodong. Sedangkan bentuk wayang yang digunakan sebagai pola
mengambil dari wayang Gedog wadyabala Bugis, yang agak banyak miripnya
dengan Srengganisura. Dalam wayang purwa tidak ada wayang yang berbentuk
seperti itu, kebanyakan hanya ditemukna hanya dalam wayang Gedog, jadi
termasuk wayang tambahan saja untuk wayang geculan.
D. Wayang Geculan Gonjing Miring
Wayang geculan bala rucah, bernama Ki Bekel Gonjingmiring, kalau
bocah-bocah di pedesaan menamainya Pakcepok atau Bambng Pakcepok. Wujud
wayangnya senang menghina, matanya sipit hidung pesek, ikat kepala jebehan
gadung mlati warna hijau, mondolan besar, jadi abdi dalem gamel, juru tunggu
kuda tunggangan patih Hudawa. Bentuk wayang yang seperti itu tidak ada dalam
wayang purwa, ini hanya termasuk wayang tambahan lagi untuk geculan kalau
sedang perang gagal saja. Hanya untuk perang musuh lawan Tumenggung
Suramedem (Gentonglodong), sehingga bisa timbang sama-sama wayang geculan.
Perangnya mulanya hanya saling mengejek, terus jadi berkelahi, dibanting jatuh
terlentang lalu geculan Sabrang kalah dan mundur. Bentuk wayang Pakcepok itu
yang digunakan sebagai pola adalah wayang wadyabala Bugis pasukan Prabu
Klana, wayang Gedog, Daeng Markising.
Ketika jaman Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke-sepuluh di Surakarta,
banyak abdi dalem dalang dan para dalang yang tinggal di kota. Datang muridmurid
di sekolah pedalangan yang sudah pandai-pandai memainkan wayang.
Kalau memainkan wayang di dalam kota Sala, tidak ada yang menjalankan perang
gagalan dan mengeluarkan wayang geculan tersebut. Setiap ada yang menjalankan
pasti dalang dari di pedesaan yang ditanggap di kota, kebanyakan memainkan
wayang di pecinan. Wayang geculan tersebut leluconya kebanyakan blangkon,
berulang kali dimainkan tetap sama, gonta ganti dalang tetap sama cara
memainkannya. Awalnya pasti saling mengejek, itu tidak berubah. Makanya
sampai banyak bocah-bocah yang sering melihat sampai hafal dan bisa
menirukan.
Wayang Semar wanda mega itu ditemani Bagong wanda gembor, lalu
ditambahi Cenguris. Jadi ada tiga macam. Cara seperti ini sudah ditetapkan
menurut tatanan kawruh pedalangan di Surakarta. Semula wajib menjalankan
lakon wetanan, tapi lama-lama lalu tanpa Cenguris, hanya tinggal Semar dan
Bagong saja, makanya wayang Cenguris lalu jadi tenggelam, jarang dilihat oleh
orang banyak.
Bentuk Wayang Semar wanda mega itu kecil kelihatan bulat badannya,
dahinya berlipat agak nonong, kelopak mata kelihatan tebal, mata menyipit karena
sering menangis, hidung sumpel, mulut kecil, wajah bulat, kumis tipis, wajah
bulatnya diberi bedak putih kelihatan menor, daun telunganya agak lebar
cocoknya memakai giwang lombok, cebol gemuk badannya, hitam kulitnya,
tangan menunjuk, wataknya kaya pitutur, tangan yang satu terbuka. Kainnya
ceplok dikapai agak tersingkap sehingga kelihatan pantatnya sedikit agar kalau
berjalan jangan sampai ribet, ikat pinggang tampar dililitkan bersama dengan sutra
merah kembang kuncung agak menunduk, menandakan kalau wataknya masih
seperti bocah kecil yang masih suka menangis. Kalau tidak seperti itu bukan
Semar wanda mega, mulut kecil mungil kalau berbicara dengan suara kecil agak
panjang, senang memerintah dan senang memberi petuah.
Wayang Semar wanda brebes itu ditemani oleh Bagong wanda gilut, lalu
ditambah dengan Cenguris, jadi ada tiga. Yang wajib menjalankan adalah abdi
dalem dalang Kanoman Kadipaten yang memainkan lakon wetanan yang sudah
menjadi kawruh tatanan pedalangan di Surakarta.
Bentuk Semar wanda brebes kepalanya dempak agak setengah kuncung
naik ke atas, wataknya kagetan karena agak kurang pendengarannya, dahinya
berlipat nonong pereng, mata rembes sering keluar air matanya, alisnya turun,
hidung sumpel, mulut terbuka agak lebar dengan bibir tebal, wajah bulat lebar di
bawah, dicat prada kuning (brom), badannya hitam gemuk pendek, jalannya maju
mundur sambil mengusap air matanya, kalau sudah mau jalan dengan cepat lalu
menabrak temannya karena matanya silau terhalang oleh air mata yang keluar,
kalau berbicara keras agak mendo’ak kepalanya, suka marah, banyak barang yang
tidak sesuai keinginannya. Kebiasaannya adalah sebentar-sebentar mengusap
mata, suka marah, lebih pantas kalau tangannya memegang sapu tangan, tangan
yang menunjuk, yang kiri terbuka dari kesukaannya marah dan banyak yang tidak
sesuai hatinya. Karena Bagong wanda gilut itu suka membangkang dan selalu
mengomel, kain ceplok kotak-kotak dipakai agak ketat, makanya jalannya megolmegol
maju mundur, ikat pinggang tali sonder sutra jingga dengan kembang
dilingkarkan di cetik. Kalau tidak seperti itu bukan Semar wanda brebes.
Wayang Bagong wanda gembor adalah teman Semar wanda mega,
wayang Semar dan Bagong itu termasuk wayang yang paling tua diantara para
wayang dagelan. Dalam layang Pustakaraja jilid enam, sudah disebutkan ketika
Janggan Semarasanta diperintahkan jadi pamong keturunan Kanumayasa dan
Wisnu pada akhir jaman purwa, yaitu hanya sampai Raden Harjuna. Oleh eyang
buyut Sanghyang Tunggal diberi teman yang dicipta dari bayangan Janggan
Semarasanta sendiri, lalu menjadi bocah gombak, yang dinamakan Bagong.
Begitulah yang disebutkan dalam cerita layang kuna. Serat Pustakaraja itu
tidak menceritakan adanya Gareng dan Petruk, jadi wayang Gareng dan Petruk
tersebut diciptakan ketika jaman Mataram saja.
Bagong wanda Gembor itu bentuknya paling besar dibanding dengan
Bagong yang lainnya, kepalanya besar memakai gombak, dahinya lebar agak
cunong, matanya bulat besar, hidung besar seperti pantat ayam, mulut lebar, bibir
memble sampai menutupi setengah janggutnya, giginya kelihatan satu
menyembul, mukanya lebar dicat warna prada emas, tubuhnya pendek, badan
gemuk, suara dalam tenggorokan, kalau berkata keras. Dia punya kebiasaan hakhek,
wataknya kurang ajar. Kain kawung tanpa lipatan dipakai seperti sarung
dengan ikat pinggang sutra jingga, kaitnya dari kuningan, keris dengan rangka
gayaman, kalau berjalan megal-megol, senang meloncat-loncat membuat kaget
temannya, menandakan bahwa orang itu kurang ajar, kalau dimarahi tidak
memperhatikan, kiri kanan tangannya tebakan, kukunya panjang senang
menggaruk-garuk, makanya sudah pantas jadi teman Semar wanda mega. Yang
seperti itu sudah jadi watak Bagong wanda Gembor, senang berteriak-teriak
dengan suara keras. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda Gembor.
Wayang Bagong wanda gilut memiliki kepala dempak dengan gombak,
meskipun sudah tua kelihatan seperti bocah, sebab yang disenangi hanya bergaul
dengan bocah-bocah satu desa. Dahinya lebar mata bulat besar, kalau berjongkok
seperti kerbau, alis sebaris kumis tipis, hidung kecil seperti pantat ayam, mulut
lebar, bibir tebal menggantung sampai menutupi separuh janggut, kalau bersuara
di tenggorokan, kalau bicara menggerundel seperti orang yang sedang makan ikan
yang alot, giginya satu menyembul di depan kalau bicara ikut bergerak tidak bisa
lepas, kalau dilihat seperti sedang memakan permen. Lehernya pendek,
kebiasaannya howak-howek, daun telinga lebar, kalau dinasehati tidak pernah
memperhatikan. Badannya gemuk pendek, memakai kain batik ngombak banyu,
dipakai seperti sarung tanpa lipatan. Kalau berjalan megal-megol seperti orang
tersandung, kalau mengikuti temannya lalu kainnya diangkat dan berjalan dengan
cepat. Ikat pinggangnya sutra jingga membawa wedhung, tangan kiri kanan
terbuka kelihatan kukunya yang panjang-panjang, kalau berkelahi mencakarcakar.
Wayang Bagong wanda Gilut itu besarnya sama dengan Togog, pantasnya
kalau badannya dicat sawo matang, wajahnya dicat prada emas (brom).
Bagong wanda gilut paling baik dipasangkan dengan Semar wanda brebes,
karena Semar wanda brebes itu selain agak kurang pendengaran, juga senang
marah-marah, kalau bicara keras, sedangkan Bagong gilut tidak pernah
memperhatikan perkataan orang, kalau bicara kebiasaannya sambil menepuk
temannya. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda gilut.
Wayang Bagong wanda ngengkel itu bentuk wayangnya agak kecil karena
biasanya digunakan untuk menambahi keluarnya dagelan Semar, Gareng dan
Petruk. Jaman sekarang sudah jadi kebiasaan dalang senang memainkan dagelan
sampai empat macam. Pada mulanya yang ditiru adalah dalang pesisir Tegal,
Pekalongan ke timur sampai Semarang, lama-lama jadi semakin banyak. Kalau
dalam kraton Surakarta sudah dibagi sendiri-sendiri, kalau abdi dalem dalang di
kasepuhan kraton memainkan dagelan Semar, Gareng dan Petruk, sedangkan
kalau dalang Kanoman Kadipaten memainkan Semar Bagong dan Cenguris.
Hal tersebut sudah diatur oleh para ahli seni pada jaman Mataram sampai
jaman Surakarta, karena menjadi titimangsa runtuhnya Mantarm, berpisahnya
Nyai Panjangmas dengan Kyai Panjangmas, menjadi peringatan sejarah kraton
Surakarta.
Bagong wanda ngengkel kepalanya agak kecil, rambut sedikit digombak
kelihatan naik ke atas, dahinya lebar, alis tipis mata lebar hidung seperti pantat
ayam. Mulutnya lebar seperti tersenyum, bibir menggantung menutupi separuh
janggut, mukanya lebar daun telinga agak kecil, lehernya pendek seperti bayi,
janggut hampir menempel di dada, di punggungnya kelihatan ada punuk,
badannya gemuk bulat, memakai kalung gobog. Wataknya keras kepala tidak mau
kalah bicara, maunya dibilang pandai tapi kalau bicara sering keliru kalimatnya,
makanya malah jadi salah bunyinya membuat bingung yang mendengarkan
kecuali temannya yang sudah biasa. Kainnya batik bermotif ngombak banyu
melengkung-lengkung, sesuai dengan watak dan gayanya. Kalau berjalan
melenggak-lenggok. Kainnya yang tidak lebar dililitkan tanpa lipatan, kalau
berjongkok lalu kelihatan pantatnya. Memakai ikat pinggang sutra jingga,
membawa keris dengan rangka gayaman kalawija sampai pundhak, tangan kiri
kanan terbuka dengan kuku kelihatan panjang-panjang. Kalau tidak begitu bukan
Bagong wanda ngengkel.
Bagong itu kalau di Banyumas namanya Bawor, sedangkan kalau di tanah
timur namanya Mangundiwangsa.
Bagong yang yang seperti itu pada jaman sekarang jadi teman Semar,
Gareng dan Petruk, tapi yang pasti kalah adalah Gareng karena tidak mendapat
tempat, habis untuk bersahut-sahutan lelucon antara Bagong dengan Petruk.
Menurut pedalangan cara Kraton Surakarta, keluarnya dagelan itu dibatasi hanya
mulai keluarnya Bambangan prepatan sampai kerajaan yang dituju saja, setelah itu
tidak diceritakan lagi, artinya sudah habis tidak keluar lagi, hanya tinggal
meneruskan lakon yang sampai bubar. Kalau ada dagelan ikut keluar padahal
tidak sesuai dengan lakon lalu ikut menyela dalam paperangan, itu dinamakan
ngrusuhi. Dagelan itu tidak boleh berpisah dengan orang yang diikuti, kalau pisah
tidak akan diceritakan lagijangan sampai meninggalkan cerita lakon yang sudah
ditentukan.
E. Wayang Dagelan Cenguris
Wayang dagelan Cenguris pada jaman sekarang sudah tidak ada, banyak
dalang yang belum pernah melihat bentuknya. Padahal sebenarnya wayang ini
adalah wayang yang menjadi teman Semar dan Bagong, yang punya kewajiban
menjadi abdi dalem dalang Kanoman Kadipaten.
Yang diambil sebagai pola adalah dagelan dalam wayang Gedog untuk
melengkapi sebagai teman Semar Bagong tersebut, sedangkan ukurannya sama
dengan Belung (Saraita). Wajah wayang Cenguris itu kepalanya kecil rambut
keriting dahi cunong hidung sumpel, mulutnya lebar, bibir atas tebal, alis tipis
mata mendelik kumisnya sedikit, memelihara jenggot tapi jarang, jakunnya
menonjol nyangga tenggok, daun telinga lebar memakai sumping kembang,
lehernya panjang bahu brojol, badan kecil tapi perutnya besar seperti anak
cacingan, pantatnya besar melintang, paha pendek kaki besar, tangan kanannya
menunjuk, yang kiri menggenggam kelihatan kukunya seperti tangan Bima. Kain
ceplok kawung kembangan dipakai tanpa lipatan, ikat pinggang sutra kembang
dengan sonder sutra jingga diselempangkan di rangka ladrang, membawa wedung
pertanda kalau abdi punakawan satria tanah Jawa, memakai kalung gobog diikat
dengan merjan merah. Badannya kelihatan seperti angsa, kalau bicara gagap
seperti Gareng, kebiasaannya wak-wek seperti bebek, kalau tertawa dengan
menutup mulutnya. Tapi ada kelebihannya juga, kalau menyanyikan tembang
suaranya bagus. Kalau berjalan megal-megol seperti angsa, wataknya mengalah
tapi kata-katanya benar. Pasangannya adalah Bagong wanda gembor atau gilut
dan Bagong wanda ngengkel, mana salah satu yang disenangi.
Wayang dagelan Cenguris ada dua macam, mana yang disenangi bisa
memilih sesukanya. Bentuk kepalanya kecil bulat dengan iket kembangan
berwarna hijau dengan mondolan besar menggantung, memakai sumping
kembang warna putih seperti bunganya pengantin baru, dahi kelihatan lebar, mata
sipit seperti sebutir padi, alisnya kelihatan sebaris, hidung mancung panjang,
bibirnya tebal mulut menganga seperti tersenyum, kumis tipis janggut
menggantung ditumbuhi jenggot, daun telinga sedang, jakun nyangga tenggok,
leher panjang bahu brojol memakai kalung gobog diikat merjan merah, kopek
menggantung di atas perut yang buncit seperti bocah cacingan, pantat besar
melintang pahanya pendek dan kaki besar. Kalau berjalan seperti angsa, tangan
kanan menunjuk yang kiri terbuka. Kain batik ceplok jambangan dipakai tanpa
lipatan, dengan ikat pinggang sutra hijau, sonder merah motif bunga, membwa
keris rangka ladrang serta pedang sabet rangka kayu trembalo, pantas kalau jadi
abdi kalawija yang menjadi kelangenan satria di tanah Jawa sebagai wulucumbu
teman dalam perjalanan, sebagai slamuran (penyamaran), teman bernyanyi
sepanjang jalan karena memang suaranya bagus, lagunya berisi bermacam-macam
ajaran yang bisa menjadi contoh. Wataknya suka membelok tapi pandai berbicara,
kalau tertawa ahjis hih hih hih hih, kebiasaannya menutupi mulut, suaranya seperti
Petruk.
Yang dipakai sebagai pola adalah dagelan wayang Gedog yang dibuat
untuk melengkapi adanya Semar Bagong tersebut, kalau ada wayang gedhog yang
bernama Jangkung, artinya luk telu (tiga lekukan), wayang tersebut kalau
ditelungkupkan ada tiga bagian yang cembung, yaitu pantat, pundak dan kepala,
sedangkan keris yang berbentuk jangkung itu luknya hanya tiga. Begitulah
wayang Cenguris yang berbentuk wanda jangkung sedangkan yang satunya
bentuk wanda mentog.
F. Tembung dan Tembang Kawi
Swuh rep data pitana, itu bukan tembang japa atau do’a, itu hanya
tembang bituwah yaitu pipiridan dari isi Serat Mahabarata, pada bagian Adiparwa,
purwaka itu lengkapnya adalah: Sawise sirep. Sidem mung awang uwung. Nuli
ana jaman tumitah kahanan wiwitaning sarwa tumutuh yaiku ing donya iki,
kalimat itu lalu oleh para dalang diringkas menjadi: Swuh rep data pitana
tersebut, tapi sebenarnya berbunyi Swuh rep ndata atita ana. Swuh artinya sirna,
sunyi sepi tidak ada apa-apa, rep artinya dingin. Ndata artinya Lah, Ta artinya
begitu. Atita artinya setelah. Ana artinya ada, keadaan serba tumbuh. Kata ini
sebagai awal pembuka cerita wayang purwa karena cerita ini mengambil dari
Serat Adiparwa.
Dan ada lagi, Swuh rep data pitana, anenggih wau kang kaeka adi dasa
purwa. Swuh = sirna atau lebur, rep = sirep, Swuh rep = sirna sirep. Itu adalah
mantra, yaitu mantra dalang yang memiliki arti Sirna semua tidak ada apa-apa,
yang ada hanya aku, hidup dalang sejati, atau si dalang itu sendiri. Data pitana =
sigegan, anenggih wau = tadi, atau yaitu. Kang kaeka adi dasa parwa, artinya
ringkasan yang digunakan sebagai permulaan cerita. Eka =satu, adi = baik, dasa =
sepuluh, purwa = awal. Yaitu sebagai permulaan cerita tersebut, misalnya
jumlahnya sepuluh tapi hanya satu yang adi atau baik, yaitu yang paling baik
untuk cerita, maka dipilih untuk membuka cerita wayang purwa. Sebetbyar, yang
benar Seg Pet Byar = Rep Pet Byar, yaitu keadaan yang menggambarkan suasana
sunyi sepi lalu muncul dunia.
Kata-kata kawi yang dipakai dalam pedalangan
Antawacana : adalah suara dalang yang bisa membedakan suara
wayang satu-persatu, jangan sampai ada yang sama
suaranya seperti misalnya suara Bima harus berbeda
dengan Gatutkaca, Harjuna jangan seperti Bambangan,
begitu seterusnya.
Hawicarita : orang yang hafal pada cerita, sejarah, atau lakon
wayang yang sudah disebutkan dalam pakem apa
adanya bisa disebutkan.
Bandawala : Perang sendirian, keinginan untuk perang satu lawan
satu tanpa bantuan
Bandawalapati : perang sendirian sampai mati
Bandayuda : perang, berkelahi satu lawan satu
Barduwak : nama senjata pada jaman kuna
Buta Barduwak : buta yang memakai senjata Barduwak
Bregedaba : nama neraka
Bukur pangarip-arip : nama surga
Bala Kusawa : pasukan darat, Wadyabala daratan
Bagna : tidak ada, Irawan bagna, Irawan hilang tidak ada
Badawangganala : dewa para penyu
Bajobarat : buta, makhluk halus pasukan Batari Durga
Bayudanda : pengiring senjata, pasukan yang menjaga senjata
Brajatiksna : satu gelar, bahasa sanskerta Wadjra
Baledeg, tiksna : Panas atau tajam, jadi maksudnya gelar tadi tajam
seperti baledeg.
Baratayuda, yudabrata : perang para keturunan Barata
Gandareya : putra Dewi Gandari yaitu Duryudana
Gandari : Gendari atau Hanggendari, istri prabu Destarata ibu
para korawa, putri prabu Subala ratu di Gandara, prabu
Subala atau prabu Tisnawa ratu di Plasajenar, dewi
Gendari saudara tua Sangkuni, Adipati di Gendara yaitu
Sangkuni.
Naracabala : Buta bala yang kecil atau Bala Danawa Arahan, Bala
Brakasakan, jumlahnya ribuan bisa dinamakan panah
pangabaran.
Subadra : Sembadra = nikmat linuwih, istri sang Harjuna
Wijayakusuma : bunga sang pemenang, nama salah satu bunga yang
memiliki kekuasaan lebih besar. Ada yang menyebut
bahwa Wijayakusuma tadi berupa Serat atau Jimat yang
tertulis milik prabu Sri Batara Kresna di Dwarawati.
Punjul ing apapak : lebih dari orang kebanyakan
Kajugilan : hatinya tidak baik
Bengis, wengis : gampang berkata-kata buruk dan ringan tangan, bisa
dinamakan mara mulut mara tangan.
Kata tersebut yang pasti untuk janturan ketika Gapuran, yaitu yang
berbunyi irung jinara trusing kuping den ingoni Bremara lan Bremari, yaiku
kombang lanang lan kombang wadon. Kalau sampai keliru menjadi Bremana
Bremani itu salah, makanya harus teliti dalam mengartikan kata-kata bahasa kawi.
G. Upacara Keprabon
Ketika jaman kraton Jenggala, yang menjadi ratu adalah Prabu Lembu
Amiluhur yang menambahi alat keprabon yang akan digunakan pada hari
pasewakan, dipinjam oleh para ceti yaitu berbentuk barang yang berbentuk hewan
yang terbuat dari kancana (emas).
Hardawalika, bulubekti dari kerajaan di Makasar, yaitu Angsa emas,
tubuh angsa kepala Sarag. Kijang Kancana, bulubekti dari kerajaan di Wandan.
Sawunggaling, bulubekti dari kerajaan Aceh, bentuknya seperti ayam hutan yang
terbuat dari emas. Rusa Mas, yang terbuat dari emas murni. Gajah mas, bulubekti
dari kerajaan Palembang. Banyakdalang, bulubekti dari kerajaan Siyem. Kutuk
Kancana, bulubekti dari kerajaan Banjarmas Borneo. Kacu mas, modangan,
berupa bumbung emas dan tutup emas. Kebut lar badak, atau Laring Merak,
sepasang. Kebut lar burung Dewata satu.
Semua barang upacara yang berbentuk hewan yang terbuat dari emas itu
gunanya hanya untuk tempat anggi-anggi, yaitu berupa mustika (mesail) seperti
akik dan lain sebagainya. Makanya semua bulubekti terbuat dari emas untuk
menghias keraton, sebagai tanda kalau sang prabu membawahi kraton-kraton di
tanah sabrang. Itu ada sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar