Minggu, 18 Agustus 2013

DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT -2



B. Dalang Terkenal Jaman Mataram
Nama-nama para Dalang yang terkenal di Mataram ketika jaman Kanjeng Susuhunan Sultan Agung Anyakrakusuma ada empat: Ki Widiguna, dalang dari Bantul, menantu Ki Lebdapura keturunan dalang daleman, dari desa Jodog Giripura, adalah dalang wayang purwa.Ki Cermanasa, orang asli dari desa Wanamarta sebelah selatan Majakerta, Jawa Timur, dalang wayang purwa. Ki Widileksana, orang asli dari desa Bahrawa, aslinya orang dari Pajang, anak dari Ki Redilata keturunan Ki Citralata, pada waktu itu kondang sebagai dalang bagong. Ki Tur Krucil, orang asli Kediri, sebenarnya orang dari Blambangan keturunan dalang Krucil yang bernama Ki Etur, dalang wayang klitik (wayang kayu).

C. Waton Pedalangan Kuna
Setelah itu Ki Dalang Sandiguna mulai memainkan wayang dengan lakon Makukuhan, suluknya sesuai, ceritanya jelas, baik dalam memainkan wayang seirama dengan laras gending, iramanya runtut tidak ada yang salah. Tabuhan wayang yang tanpa gending, artinya hanya dengan gending playon, yaitu sampak, srepegan, ayak-ayakan, itu dinamakan beber bango mati.
Cerita jaman para Kurawa itu mungkin cerita yang tersebut dalam serat Mahabarata yang masih asli, yang tidak terlalu menjelek-jelekkan para Kurawa.
Cerita-cerita kuna tersebut nantinya terbalik 180 derajat, hanya untuk memuji muji pada Pandawa padahal sebenarnya Pandawalah yang jelek, Pandawa selalu dibuat unggul, Kurawa dibuat kalah. Tapi pembalikan tersebut tidak bisa sempurna seratus persen, masih kelihatan aslinya. Makanya dalam serat Mahabarta, kalau sedang menceritakan kemenangan Kurawa jadi kelihatan aneh.
Dalam pedalangan, keunggulan para Kurawa itu diceritakan dalam lakon Caluntang.
Lakon Caluntang Gendrehkemasan rara Temon. Negara Amarta ditundukkan oleh Sang Hadipati Karna, Pandawa melarikan diri ke negara Wirata.Negara Dwarawati ditundukkan Prabu Baladewa, lalu sang Prabu Anom Wisnubrata (Samba) mengungsi ke negara Wirata.

D. Babading Pandawa
Nama para ratu yang membantu Pandawa dalam perang Baratayuda.
1. Prabu Matswapati ratu negara Wirata
2. Prabu Drupada ratu negara Pancalareja
3. Prabu Kresna ratu negara Dwarawati
4. Prabu Kuntiboja ratu negara Mandura
5. Prabu Drestaketu ratu negara Cedi
6. Prabu Pandya ratu negara Mandura Kidul
7. Prabu Rukmi (Bismaka) ratu negara Kumbina
8. Prabu Hiranjawarma ratu negara Dasarna
9. Prabu Setyaki ratu negara Nglesanpura dan bangsa Satwata
10. Prabu Jarasanda ratu negara Manggada dan putranya Jayatsena
11. Ratu negara Kasi mertua Raden Werkudara

Nama para ratu yang membantu para Kurawa dalam perang Baratayuda
1. Prabu Karna ratu negara Wangga (Ngawonggo)
2. Prabu Salya ratu negara Madras (Mandaraka)
3. Prabu Sumarma ratu negara Trigarta
4. Prabu Citranggada ratu negara Kalingga
5. Prabu Bagadatta ratu negara Pradyatista (Sriwantipura)
6. Prabu Burisrawa ratu negara Bahlika, putranya prabu Samadatta
7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) ratu negara Sindu

Sedangkan yang menjadi gegedug perang di negara Astina yaitu:
1. Resi Bisma di Tulkanda
2. Resi Durna di Sokalima
3. Haswatama di Sokalima
4. Harya Sangkuni di Plasajenar
5. Prabu Salya di negara Mandaraka
6. Prabu Karna di negara Wangga (Ngawonggo)
7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) di negara Sindu tanah Keling.

Sedangkan yang bukan gegedug, artinya perangnya hanya keroyokan saja:
1. Prabu Gardapati ratu negara Kasapta
2. Prabu Wresaya ratu negara Lokapura
Prabu Pratipeya, Prabu Pratipa, Prabu Santyswara dan prabu Hardawalika raja ular, mereka berperang keroyokan.

Nama tetabuhan yang digunakan sebagai tanda perang di jaman kuna:
1. Gurnang
2. Gubar
3. Puksur
4. Teteg
5. Kendang
6. Bende
7. Gong beri
8. Tong-tonggrit

Kurusetra atau Tegal Kuru
Kurusetra atau Tegalkuru artinya adalah tanah di tengah desa, yaitu tempat yang dijadikan sebagai ajang perang para Kurawa melawan dan Pandawa.
Nama gelar perang ketika jaman purwa
1. Mangkabyuha yaitu yang dinamakan gelar Supit urang
2. Kagapati yaitu yang dinamakan gelar Garuda nglayang
3. Hardacandra yaitu yang dinamakan gelar Bulan tumanggal
4. Drihanjala yaitu yang dinamakan gelar Emprit aneba
5. Limbungan yaitu yang dinamakan gelar Lulumbungan
6. Diradhameta yaitu yang dinamakan gelar Liman angrok
7. Bajratikna yaitu yang dinamakan gelar Hanggada lungit
8. Padmanaba yaitu yang dinamakan gelar Tunjung Karoban
9. Dumuk angun-angun, yaitu yang dinamakan gelar Banteng ngamuk
10. Naga mangangkang yaitu yang dinamakan gelar naga ngakak
11. Cakraswandana yaitu yang dinamakan gelar Gilingan rata
12. Wukir jaladri yaitu yang dinamakan gelar seganten ardi
13. Samodra pasang yaitu yang dinamakan gelar saganten banjir
14. Durga marusit yaitu yang dinamakan gelar Jurang shidung
Kalasangka (terompet di jaman kuna) dinamakan Dewadata, milik Raden Harjuna dan ditiup sebagai tanda perang Baratayuda. Ratagotaka, artinya kereta Gerobak yang ditarik oleh gajah, tunggangan pasukan raseksa (buta).
Nama busana yang dipakai para nata di jaman purwa
1. Makuta ganduwara
2. Bukasri marcukundo
3. Cacantang hendrakala
4. Jajamang hendrakala
5. Dawala talipraba
6. Karawista hendrabajra
7. Calumpring pujangkara
8. Sumping tambara
9. Sangsangan triujung
10. Tebahjaja sulardi
11. Praba kutibajra

12. Kawaca gardawari
13. Padaka gandawari
14. Sengkang bama
15. Binggel walmembuat
16. Gelang bauwarna
17. Karoncong karawali
Itu semua menurut serat Pustakaraja Purwa.
Nama Rasa
1. Sarkara : manis
2. Madura : manis
3. Dura : asin
4. Lawana : asin
5. Lona : pedas
6. Katuka : pedas
7. Kayasa : sepet
8. Amla : kecut
9. Tikta : pahit

E. Wukir Gandamana
Raden Wibisana setelah menjadi ratu di Ngalengkadiraja atau Ngalengkapura, lalu bergelar bergelar Prabu Wibisana. Negara Ngalengka lalu diganti namanya menjadi negara Singgelapura. Sang prabu Wibisana memiliki dua putra, yang tua adalah seorang wanita bernama Dewi Trijata, yang muda lakilaki bernama raden Bisawarna. Setelah menggantikan menjadi ratu bergelar Prabu Bisawarna, juga di negara Singgelapura. Dewi Trijata sampai tua ikut dengan kapi Jembawan atau resi kapi Jembawan yang berpadepokan di wukir Gandamana.
Sang Dewi selalu memohon pada sang Resi untuk mendapat keturunan. Permohonan sang Resi pada Jawata tulus dari dalam hati, siang dan malam selalu berdoa supaya segera diberi keturunan. Atas kekuasaan Dewa, permintaan sang dewi bisa dilaksanakan tetapi dengan syarat harus mengabdi ke negara Astina.
Dewa memerintahkan agar meminta petunjuk pada raja di Astina. Setelah menghadap ke negara Astina, Sang prabu Pandudewayana melihat sang Retna Trijata, seketika kasmaran sampai ke dalam hati dan setelah itu terlaksanalah apa yang menjadi permintaan sang dewi. Setelah mengandung tiga bulan lalu dibawa
kembali ke Gandamadana oleh resi Kapi Jembawan. Setelah tiba saatnya, sang dewi melahirkan seorang putri perempuan diberi nama dewi Jembawati atau Endang Jembawati.
Dewi Jembawati masih bersaudara dengan para Pandwa, tapi lain ibu satu ayah. Dewi Jembawati menikah dengan Kresna yang masih bersaudara, dengan Wara Sumbadra adalah kakak ipar. Dewi Jembawati itu masih keponakan Pandudewanata yang merupakan kakak ipar Prabu Bisawarna di Singgelapura.
Makanya dalam lakon Partakrama, permintaan Wara Sumbadra pada prabu Yudistira, arak-arakan pengantin laki-laki dari Amarta ke Dwarawati, pengantin laki-laki harus naik Rata Kancana, yaitu kereta keprabon serta panggih panganten dalam dari domas bale kancana. Sang Prabu Yudistira setelah mendengar
permintaan pengantin putri seperti itu, merasa tidak bisa melaksanakan karena dirasa kalau negaranya kecil, tidak akan sanggup mewujudkan permintaan tersebut. Seketika hatinya menjadi putus asa, lalu akan mengurungkan niatnya.
Sang resi Habyasa setelah mengetahui kalau cucunya merasa putus asa tidak sanggup melaksanakan, ia lalu mencabut perkataan sang cucu tersebut, dalam hati ia berharap jangan sampai pernikahan itu dibatalkan, bagaimanapun harus dilaksanakan. Sang resi lalu mengambil alih keinginan cucunya, Prabu Yudistira.
Seketika yang punya hajat mantu negara Amarta, adalah Sang Resi Habyasa, bekas ratu di Astina yang sudah turun tahta lalu meninggalkan kekuasaan menjadi pandita di Saptarga, dialah yang yang menyanggupi semua yang jadi bebana keinginan ratu Dwarawati.
Karena Sang Resi sudah bisa melihat pada apa yang akan terjadi, sang resi teringat kalau memiliki cucu dewi Jembawati yang sudah diperistri ratu Dwarawati yaitu yang lahir dari pasangan Prabu Pandudeyana dan Dewi Trujata. Padahal Dewi Trijata itu adalah kakak Prabu Bisawarna di Ngalengka atau Singgelapura, negara kaya raya luas jajahannya. Karena terlalu kaya bisa diibaratkan mempunyai gunung emas, di puncaknya ada perhiasan yang bersinar seperti sinar Ywang Rawi, negara itu adalah peninggalan paman prabu Dasamuka dahulu. Makanya sang Eyang Resi Habyasa lalu mengutus cucunya, Harya Sena (Werkudara) untuk meminjam kereta keprabon bekas tunggangan Prabu Wibisana ketika menjadi ratu Ngalengka, serta meminjam domas bale kancana, yaitu bale (rumah besar) bekas untuk penobatan atau kepyakan ketika Raden Wibisana menjadi ratu Nata oleh Prabu Ramawijaya setelah perang Ngalengka dan bergelar Prabu Wibisana.
Setelah Prabu Bisawarna mendengar perkataan Harya Sena yang akan meminjam tunggangan Kaprabon dan Bale kancana dari domas, seketika sang Prabu menyambut gembira dan mempersilakan Sang Harya Sena segera kembali.Bale kancana dari domas dibongkar lalu dikirimkan bersama tukang-tukangnya
yang bisa merakitnya kembali dan akan mendirikan bale tadi di Dwarawati. Perjalanannya dinaikkan perahu baita besar bersama dengan kereta Keprabon, berjajar-jajar sampai ada banyak perahu dari di Singgelapura ke Dwarawati.
Domas bale kancana itu kalau sudah dirakit atau dipasang akan menjadi rumah gedung yang besar, rumah yang tiangnya berjumlah 800 buah, mulai dari blandar dan pangeret diukir dengan warna emas. Rumah yang tiangnya sampai 800 buah itu pasti kalau digambarkan seperti rumah gedung yang sangat besar. Makanya ratu Dwarawati menginginkannya supaya bisa cukup untuk menerima para tamu ratu negara manca yang akan menghadiri pernikahan tersebut.
Prabu Pandudewanata masih ipar Prabu Bisawarna, makanya ketka putra kaponkannya jadi pengantin dan meminjam kereta keprabon, maka segera diberikan. Sedangkan yang ada di Dwarawati, Dewi Jembawati sebagai pengantin putri, juga masih keponakan Prabu Bisawarna sendiri, yaitu putra dewi Trijata dengan Prabu Pandudewanata di Astina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar