Minggu, 18 Agustus 2013

DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN

;A. Keindahan Adiluhun了g
Cara dalang dalam memainkan wayang sabisa-bisanya ingat pada
keindahan yang adi luhung, hati-hati memegang wayang dan bisa menghargai seni
wayang, jangan terburu-buru nanti malah bisa dianggap meremehkan seni
kebudayaan kita sudah dianggap adi luhung. Dalang harus bisa menghargai
wayang karena sandang pangan dalang itu adalah karena bermain wayang dengan
tetabuhan semalam suntuk. Jadi kalau memperlakukan wayang-wayang dengan
seenaknya sendiri itu kurang baik, kadang-kadang ada dalang yang menmainkan
wayang dengan dilempar-lemparkan ke udara, ada yang sampai dijungkirbalikkan
supaya dianggap sabetan gaya baru, sehingga banyak anak kecil yang melihat
bersorka-sorak dan merasa baik permainannya. Yang seperti itu masih termasuk
dalang bocah, masih suka disoraki anak kecil, masih belum bisa menghargai
budaya yang adi luhung. Kalau caranya seperti tersebut, dalam semalam
memainkan wayang, pasti ada satu atau dua wayang yang gapitnya patah karena
gapit dari tanduk itu rapuh, kalau wayang yang gapitnya dari bilah bambu itu kuat.
Kebanyakan wayang dengan gapit seperti itu hanya wayang di pedesaan dan
pesisir, yang biasanya dinamakan wayang barangan, hanya untuk sekedar untuk
mencari nafkah. Jadi tidak memikirkan tentang seni keindahan, hanya untuk
mencukupi kebutuhan.
Kalau yang dimainakan adalah wayang yang bagus dan rumit ukirannya
dengan dipoles prada emas, dengan gapit dari tanduk putih dan pilihan, yang
punya teliti pada garapan, wayang yang nantinya akan banyak dimiliki oleh
priyayi yang kaya dan senang pada wayang maka siallah mereka jika dalang
dalang yang memainkan hanya seenaknya saja, memakai cara memainkan wayang
di pedesaan tersebut, tidak bisa membedakan baik buruk barang, semua dianggap
sama.
Begitulah model dalang gaya baru sekarang ini, banyak yang merusakkan
wayang dan belum bisa menghargai seni karya juru tatah wayang dan juru
panyungging. Makanya jadi dalang itu tidak gampang, harus cinta pada wayang
siapa saja dan bisa menghargai, sopan santun dalam memainkan wayang, jangan
meremehkan wayang. Jika terjebak memainkan wayang di tempat yang biasanya
hanya seadanya, jangan merasa kecewa hatinya, harus bisa memainkan sama
dengan wayangnya orang kaya yang serba baik. Jadi jika ada dalang memainkan
wayang dengan dijungkirbalikkan atau dilempar-lemparkan supaya bisa kelihatan
berpindah tempat atau kelihatan melompat, itu bukan cara dalang memainkan
wayang.
Dalang seperti itu jika tidak punya wayang sendiri, biasanya kalau mencari
sewaan wayang jadi sulit, para priyayi yang punya wayang tidak akan
menyewakannya karena pasti ada wayang yang rusak, yang pasti gapitnya akan
putus pas di pinggang wayang. Makanya banyak yang tidak mau menyewakan
wayang pada dalang yang seperti itu.
Tatacara dalang mengambil dan menancapkan wayang harus dengan
tangan kanan, tangan kiri hanya diam saja. Jika tangan kiri ikut menancapkan
dinamakan diksura dan lagi jika tiba wayang yang besar biasanya kurang dalam
menancapkannya, wayangnya kadang masih bergoyang akan rubuh karena kurang
dalam menancapkannya. Jika sampai terlalu dalam juga kurang baik, susah
mencabutnya. Maka kalau tangan kanan harus bisa mengira-ira dangkal atau
dalamnya dalam menancapkan wayang. Kalau mengeluarkan wayang dalam
pakeliran harus bisa mengira-ira lebar sempitnya paseban, jangan sampai
kelihatan memenuhi tempat dan jelas penataannya, muka wayang supaya bisa
kelihatan satu-satu, jadi bisa menyebutkan nama wayang satu persatu.
Menata wayang dalam paseban harus ingat pada besar kecilnya wayang.
Misalnya menata wayang Kraton Ngalengka yang besar-besar, cukup 6 buah saja.
Penataannya yang baik, kalau butuh agak banyak boleh sampai 8 buah, misalnya
wayang yang besar dikurangi Kumbakarna. Jika sampai pada wayang yang
ukurannya sedang misalnya sabrangan Boma beserta pasukan manusia, itu cukup
8 buah. Jika wayangnya kecil bisa dikira-kira sendiri bagaimana agar baik dilihat.
Selama dalang memainkan wayang itu sabisa mungkin sambil menata dan
mempersiapkan wayang yang akan keluar selanjutnya. Caranya sambil
menceritakan suatu adegan wayang apa saja, bisa sambil mempersiapkan wayang
yang akan dibutuhkan, jangan hanya mengandalkan pada panyumping (pembantu)
saja.
Dalang juga harus tahu tentang keapesan wayang. Kalau menumpuk
wayang jangan melintang nanti bisa mematahkan gapit, meletakkan wayang diatur
agar rata kelihatan tergelar rapi. Kalau sampai wayang tadi asal meletakkannya
akan bingung mengambilnya. Mengambil wayang jangan sampai diseret nanti
tangannya tersangkut dan kadang-kadang membuat putusnya sambungan tangan
atau lepas dari sambungan. Kadang kala ada yang sampai memutuskan pegangan
tanganan, lepas talinya dari telapak tangan wayang. Cara mengambilnya harus
dibuka satu-satu. Kalau sudah ketemu wayang yang dibutuhkan lalu dipegang
gapitnya, ditarik ke bawah sambil maju dan diringkas tangannya dengan
memperhatikan wajah wayang jangan sampai ada yang tertekuk hidungnya nanti
bisa membuat cacat wayang.
B. Gapit Wayang
Wayang yang wajahnya dicat hitam kalau terlipat tidak terlalu kelihatan
cacatnya, tapi kalau yang wajahnya merah muda (puru) atau putih, brom (prada)
dan wayang yang sejenisnya biasanya kelihatan jelas bergaris atau rusak catnya.
Itulah sebabnya mengapa memainkan wayang jangan sampai gapitnya
melengkung, begitu juga menancapkan jangan sampai gapit tadi terlipat.
Pegangan dari tanduk itu mudah patah karena rapuh, berbeda dengan gapit bambu
atau penjalinPatahnya gapit itu biasanya di bagian pinggang wayang karena disitu
adalah tempat gubahan gapit.
Jika menancapkan wayang jangan sampai terlalu dekat dengan kelir, nanti
kalau dilihat dari belakang kelir akan kelihatan seperti patung (arca) diam tidak
bergerak, hitam dan tidak hidup. Wayang ditancapkan agak miring sedikit, yang
menempel di kelir hanya wajah wayang sampai telapak kaki yang depan. Jadi
kalau tersorot sinar lampu blencong, bayangannya bisa kelihatan bergerak, kalau
dipandang dari belakang kelir kelihatan seperti punya nyawa. Kalau menancapkan
wayang terlalu tinggi dinamakan wayangnya dinamakan mabur karena tidak
menyentuh tanah. Kalau terlalu dalam menancapkannya dinamakan kungkum,
kalau menancapkan wayang yang di depan jangan sampai terlalu menunduk, nanti
dinamakan nlosor, bagaimana sebaiknya saja. Menancapkan wayang yang di
depan, kepuh dodot yang pas pinggang diatur supaya jatuh di atas palemahan agak
ke atas sedikit. Jadi seperti orang yang sedang duduk bersila duduk menghadap
ratunya, atau pada wayang kang ada di depannya.
Kalau menyabet wayang jangan sampai bersangkutan, seperlunya saja
jangan sampai diulang-ulang malah jadi ruwet. Kalau sampai ruwet yang melihat
dari belakang kelir akan merasa pusing kepala karena melihat kelebat sana kelebat
sini tanpa arti. Memang tidak gampang memainkan wayang dalam pakeliran tadi.
Makanya harus lincah memegang wayang, jangan sampai terlepas pegangannya.
Begitulah cara merawat wayang yang dinamakan anggulawentah wayang, jadi
harus senang dan cinta pada wayang apa saja. Memainkannya harus teliti hati-hati,
dan bagi orang asing agar bisa menghargai pada kagunan yang adi luhung tadi.
Dalam memainkan wayang, kalau menceritakan lakon wayang jangan
sampai keluar dari kelir, harus apa adanya watak wayang yang ada dalam lakon
sesuai lakon yang dimainkan yaitu cerita wayang purwa ketika jaman dahulu.
Jangan sampai dibelokkan dengan lelakon jaman sekarang, nanti akan membuat
kacau anggapan para tamu dan para penonton, sehingga dinamakan tanpa waton.
Jangan suka membicarakan wayang sampai memakai nama para tamu dan
penonton. Ya kalau hatinya berkenan, kalau tidak nanti malah membuat salah
paham tidak baik jadinya. Jangan suka membicarakan keadaan keadaan jaman
sekarang. Benar atau salah itu bukan kewajiban dalang memainkan wayang.
Jangan sampai mau menerima kalau ada priyayi yang titip rembug apa saja supaya
dimasukkan dalam pembicaraan wayang yang dirasa bisa pas. Itu tidak baik, nanti
dinamakan dalang corong (trompet) jadi tukang propaganda dan bisa jadi cacat
membuat isi cerita pedalangan tidak cocok dengan cerita lakon ketika jaman
purwa. Intinya adalah dalang memainkan wayang semalam itu yang dibicarakan
hanya cerita lakon wayang ketika jaman purwa saja dan sesuai wayangnya. Kalau
wayangnya madya, ya jamannya jaman madya, kalau wayang gedog ya jaman
Jenggala dan seterusnya. Karena umumnya kebanyakan digunakan untuk
memainkan wayang itu adalah wayang purwa, jadi jangan sampai melenceng dari
bentuk barang yang sudah ada. lagi pula kalau bicara jangan sampai rusuh atau
saru, kalau sampai terdengar para putra-putri yang melihat di belakang kelir
kurang baik.
Kalau memukul kotak jangan terlalu sering, kalau membuat jarak
pemukulan yang jelas mengikuti ucapan wayang atau kalau wayang yang lain
perlu menyahut untuk menjawab pertanyaan atau ucapannya tadi jadi ada sela
tidak membuat bingung teman-teman niyaga yang menabuh gamelan. Pernah ada
kejadian, niyaga ingin meminta singgetan patet. Sudah mengambil rebab dan
digesek ternyata wayang masih berbicara dan diselingi suara ketukan kotak. Yang
mendengarkan jadi bingung, tidak mengerti ucapan wayang malah bising dengan
suara kotak dipukul tanpa arti. Intinya harus bisa menerapkan, memukul kotak
yang tepat jangan sampai mengganggu ucapan wayang dan keinginan niyaga.
Kalau cerita harus yang jelas jadi bisa dirasakan, jangan hanya asal bicara
seperti menghafal dan jangan sampai diulang-ulang, malah ada yang salah ucap.
Begitulah, apa yan dirasa baik malah sebaliknya, tidak ada orang yang
memperhatikan, hanya dianggap seperti burung mengoceh saja. Makanya harus
hati-hati, kalau cerita yang jelas dan turut jadi enak didengarkan dan tidak perlu
terburu-buru. Kalau tidak mengerti bahasa dan kata jangan berani memberi arti,
nanit keliru maknanya. Kalau ada kata yang sudah jadi jangan berani mengubah
atau ngotak atik, nanti malah berbeda maknanya. Lebih baik dibaca apa bunyinya
saja dan jangan sampai berganti kalimat. Makanya dalang harus hawicitra, Mardi
basa, Mardi kawi itulah modal untuk jadi dalang.
C. Gending untuk Pewayangan
Dalam memainkan wayang jangan sampai menoleh kesana kemari kalau
tidak ada perlu yang penting dan jangan sampai sok pintar. Lebih tumungkul
(menunduk). Yang dimaksud tumungkul di sini bukan menundukkan muka
melihat ke bawah, tapi menundukkan hati, menjadi satu dengan permainan
wayang. Satu lagi, jangan sampai bersandar pada kotak, duduk yang tegak jangan
membungkuk, kalau bersuara nanti tidak bisa kuat napasnya. Kalau sedang
ngepyak (memukul kepyak) duduknya agak miring ke kiri sedikit. Ada dalang
yang memukul kepyak dengan tungkai kaki, maksudnya supaya bisa terasa
mantap keras suaranya sampai kotaknya bergeser dari tempatnya. Yang seperti itu
salah karena kelihatan kasar, cara seperti itu dinamakan kepyakan cara pedesaan,
hanya asal suaranya keras saja sampai mengalahkan gamelan, itu kurang baik.
Harus disesuaikan dengan laras gamelan, jadi bisa enak didengarkan. Intinya
harus bisa menerapkan pada dirinya sendiri jangan sampai kelihatan kurang baik,
nanti dinamakan diksura, tidak mengerti udanagara. Dalang dalam memainkan
wayang pasti banyak tamu-tamu yang hadir untuk melihat dan memperhatikan
cerita serta piwulang dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk itu. Tamu
kebanyakan itu ada bermacam-macam, ada orang asing yang punya pengetahuan
luas melebihi si dalang, malah ada dalang yang datang untuk melihat cara
memainkan wayang. Makanya tidak gampang jadi dalang.
Kalau sudah laris dan kondang jangan sombong meremehkan temannya
mencari makan, lalu kurang menghormati niyaga. Apa ada dalang memainkan
wayang tanpa tabuhan, jadinya tidak bagus. Tersebut semua ajaran yang menjadi
wewaler dalang. Kalau memainkan gending untuk pewayangan itu harus ingat
pada bentuk wayang, wayang dugangan, alusan, bapangan, atau wayang dagelan,
juga sedang memainkan adegan apa dan dimana tempatnya. Misalnya kalau di
Dwarawati gendingnya karawitan, kalau di Astina Kabor. Itu sudah ada
ketentuannya sendiri-sendiri. Jengkar dari di pasewaan atau cukup ayak-ayakan
saja, kalau sudah sampai depan gapura terus dilagukan pangjangmas. Itu sudah
menjadi ketentuan, jangan sampai gendingnya diganti gleyong karena gending
Gleyong itu gending yang digunakan dalam bubaran resepsi, jadi bukan gending
wayangan. Kalau kadatonan gendingnya Titipati atau Damarkeli itu sudah baik,
jangan Semaradana atau Pangkur kebar, itu gending untuk tari kiprahan yaitu tari
Gambyong.
Jadi tidak tepat kalau diterapkan dalam pakeliran wayang serta jangan
memainkan gending Bedayan dalam pakeliran, itu tidak selaras dengan
pewayangan, hanya untuk digunakan ketika Limbuk dan Cangik menari saja. Lagi
pula kalau masih sore memainkan gending gobyog itu kurang baik. Itulah yang
dinamakan tidak bisa menerapkan karawitan untuk wayang purwa. Gendinggending
untuk pewayangan itu sudah ada sendiri, sudah diciptakan oleh empuempu
yang ahli gending pewayangan. Jadi kita itu hanya cukup melestarikan saja
jangan sampai diganti dengan gending baru yang sedang in sekarang ini. Itu tidak
cocok dalam pewayangan karena ini wayangan, bukan klenengan mana suka.
Jangan sampai dicampur aduk, nanti membuat kacau, sudha ada ketentuannya
sendiri-sendiri. Kalau sampai berlarut-larut namanya merusak seni kebudayaan
kita.
D. Dalang Sejati, Purba Wasesa
Macam-macam dalang sudah ada namanya sendiri-sendiri, yaitu lima
macam:
1. Dalang Sejati.
Kalau memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang
baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon wayang
berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai kesejatian.
Jadi memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa
gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju
kasempurnan. Jadi lahir dan batin itu bisa seia sekata, luar dan dalam menuju
pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti
keinginan sendiri. Itulh yang dinamakan Dalang sejati.
2. Dalang Purba
Dalang ini kalau memainkan wayang dengan cerita yang isinya bermacammacam,
yaitu cerita lakon wayang yang bisa digunakan untuk bekal hidup
manusia sehari-hari. Lahir dan batin mneuju kesempurnaan. Makanya cara
memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan
pada para penonton sampai masuk ke dalam hati, meskipun sudah selesai
wayangnya tapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah
yang dinamakan dalang purba, artinya dalang yang sudah bisa merasakan
rasa kasar halusnya manusia.
3. Dalang Wasesa
Dalang wasesa kalau memainkan wayang sudah mahir, cara menceritakan
wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata,
sampai bisa membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang
sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena
kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti
itulah yang dinamakan dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai
pakeliran.
4. Dalang Guna
Kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti
disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong, tidak ada wejangan hanya
sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi bisanya
baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian
menunggu rumah. Caranya hanya seperti orang bermain wayang lugu,
ceritanya tanpa isi, kalau memilih lakon pasti mencari lakon kebanyakan
perangnya, sedikit gending dan ceritanya. Memilih lakon kebanyakan
perangnya jadi gamelannya kebanyakan hanya gending sampak srepegan dan
ayak-ayakan. Semalam hanya isi tiga gending, bisa dinamakan beber bango
mati. Makanya memilih kebanyakan keluar wayang, dalam semalam jangan
sampai kehabisan lakon.
5. Dalang Wikalpa
Cara memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan bab
pedalangan. Ceritanya hanya pas apa adanya saja, menurut ajaran ketika
belajar jadi dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya
seperti meniru saja, itu yang dinamakan latihan mendalang, menirukan cara
dalang memainkan wayang semalam. Itu yang dinamakan dalang wikalpa.
E. Pakem Blangkon
Yang dinamakan pakem blangkon itu seperti ini.
Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak
berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah
ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan jawa, sebagai pedoman
para dalang jika memainkan wayang.
Jadi cara menata pakeliran menurut pada adat tatacara kraton Jawa, dan
disesuaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, misalnya kalau
menurut pedalangan cara Surakarta, setiap lakon pertama Kraton Jawa, dimana
negaranya dan siapa ratunya, ucapan cerita janturan pasti dengan cara praja
Surakarta yaitu keadaan negara dan kemakmuran negara disampaikan dalam
cerita. negara panjang-punjung pasir wukir loh jinawi: begitu seterusnya, dan
pasti disesuaikan dengan upakarti Surakarta, lalu gapuran, sang nata keluar dari
istana dan berhenti di Srimanganti. Terus kadatonan, sang nata duduh bersama
prameswari. Terus disambung di Paseban jaba, di Pagelaran, bubaran,
membubarkan pasukan, begitu seterusnya.
Kalau cara Yogyakarta hampir sama, hanya bedanya kalau sampai laras
sanga pasti diselingi gara-gara sebagai banyolan, mengeluarkan dagelan. Jadi
yang disebut di atas tadi yang dinamakan pakem blangkon, aturan dalang kalau
memainkan wayang. Makanya kalau ada dalang memainkan wayang sampai
keluar dari pakem, artinya meninggalkan pakem, meskipun laris dan banyak orang
yang suka, tetap saja kurang baik karena tidak menurut pakem dan meninggalkan
waton pedalangan.
Pedalangan itu sudah dibagi, ada wewaton sendiri-sendiri. Kalau dalang
wayang purwa yang dimainkan wayang purwa, wayangnya juga purwa,
gamelannya slendro, gending suluk patet slendro, begitu seterusnya.

1 komentar:

  1. Casino | Dr. McD
    Our award-winning slots range in denominations from denominations from 부천 출장안마 penny 경주 출장샵 to $50. Our latest progressive jackpot games include 평택 출장마사지 progressive jackpots. Enjoy How 고양 출장샵 do you play casino slots?What 춘천 출장샵 type of casino bonus can I use?

    BalasHapus